TIGA PULUH LIMA

20.5K 1K 11
                                    


"Ana?" Araf menatap wajah yang tidur dengan tenang itu, menatap ke arahnya tak percaya.

"Apakah Bapak mengenal pasien ini?" kemudian dokter yang ada di sebelahnya menatap Wildan dan menunggu jawaban disana.

"Siapa nama pasien ini, Dok?" tanya Wildan dengan suara begetar.

"Kami melihat KTP pasien yang ada di dompetnya,"

Tidak, jangan katakan namanya....

"Ana Adiatma. Apa bapak mengenalnya?" 

jantung Wildan kali ini seperti ingin meledak. 

Dirinya saat ini ingin berteriak kencang melihat Ana yang terbaring penuh darah di depannya. Tapi tubuhnya tidak bisa melakukan apa pun sekarang.

"Kita harus segera memasuki pasien ke ruang operasi sekarang pak, Saya akan melakukannya segera jika Bapak setuju dengan keputusan ini." Wildan terdiam, seluruh tubuhnya begetar dan mati rasa. Matanya kosong tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi di depannya.

"Bapak kita tidak punya waktu banyak." Kemudian Wildan mengangguk, mengiyakan keputusan dokter untuk mengoperasi pasien detik itu juga.

Wildan melihat dokter dan perawat itu berlalu didepannya dengan membawa Ana yang bersimbah darah. Kemudian dari pintu depan, David berlari dan berhenti di sebelah Wildan.

"Pak, apa yang terjadi?" David yang menyentuh bahu Wildan tidak mampu membuat mata Wildan teralihkan dari ujung lorong. Mata Wildan kali ini benar-benar kosong dan wajahnya begitu pucat.

"Pak, Saya rasa Bapak belum sepenuhnya sembuh untuk pulang, Ayo ki-" sebelum menyelesaikan kalimatnya, Wildan menatap David.

"David, kenapa bisa?" Wildan menatap David dengan mata bergetar dan berair. Tebersit pandangan marah disana bercampur dengan air mata Wildan yang menunggu untuk turun di wajahnya.

"Apa maksud Bapak?"

"Kenapa kau tidak menjaganya?" David mengerutkan dahinya menatap Wildan yang masih menatap kearahnya tajam.

"Da... darah.."

"Pak sebenarnya apa yang barusan terjadi?"

"Aku harus membunuhnya." Wildan berbalik menuju pintu keluar, melihat hal itu tangan David yang panjang dengan sigap menghentikan tubuh Wildan yang ingin keluar dari pintu rumah sakit.

"Pak, Saya tidak bisa membiarkan Anda keluar dari rumah sakit, Bapak harus tenang terlebih dahulu."

"Brengsek! Aku harus membunuhnya!" Wildan masih meronta-ronta melepaskan cengkraman tangan David yang sangat kuat menahannya untuk pergi.

"LEPASKAN! AKU HARUS MEMBUNUH KARTADIMADJA BRENGSEK ITU!" suara Wildan begitu kencang dan bergema di lorong rumah sakit. Semua orang sekarang menatap ke arah mereka berdua dengan berbisik-bisik.

"Pak maafkan Saya, tapi Saya harus melakukan ini." Tamparan kuat berhasil mendarat di pipi kanan Wildan dan membuat tubuh Wildan terduduk lemas. Setidaknya hanya ini yang bisa David lakukan untuk membuat Tuannya tenang. Kemudian David ikut menyamakan posisinya dengan Wildan yang terduduk lemas di lantai.

Tidak lama kemudian, Yudika dan Araf datang dari sisi ruangan dan Araf segera berlari ke arah Wildan.

"Apa yang terjadi, David?!"

"Saya sendiri tidak tahu, Pak Araf. Sebelumnya Saya hanya ingin mengantar Bapak Wildan kerumah, tapi-"

"MINGGIR!!!" akhirnya David pergi dari depan Wildan dan membiarkan Araf berhadapan langsung dengan Wildan.

"Wildan, ada apa? Aku sudah katakan padamu kau itu belum sepenuhnya sembuh tapi-"

"Apa yang sudah Aku lakukan, Raf?" Wildan menarik kerah baju Araf dan menundukkan kepalanya. Kemudian Araf melihat bahu Wildan yang bergerak naik turun, seluruh tubuhnya ikut bergetar.

"Wildan apa maksudmu?"

"A..Ana.. ruang operasi.." Araf yang langsung menyadari apa maksud perkataan Wildan berdiri dan langsung meminta David untuk membawa Wildan kembali ke ruangannya.

*

Araf berlari menuju ruang operasi dan melihat nama pasien yang berada di dalam. Tertulis disana 'Ana Baskara'. Ntah sudah berapa kali dirinya mengusap matanya berharap ia salah melihat nama yang ada di layar itu, tapi tidak. Nama itu tetap tertulis disana.

Araf menuju kursi ruang tunggu dan terduduk lemas disana. Kemudian ia mengambil ponselnya yang berada di saku belakang celananya.

"Halo, Wina."

"Kapan kau akan pulang? Arfa sudah merindukanmu." Terdengar suara Arfa yang memanggil 'papa' dari kejauhan dan suara tawa Wina yang lepas, kemudian Araf menghela nafas berat dan memijit dahinya.

"Wina datanglah kesini, Aku rasa kepalaku ingin meledak sekarang."

"Apa maksudmu?"

"Ana... Ana dioperasi sekarang." Sedetik kemudian nada sambung telepon terputus. Araf tahu, Wina pasti akan segera kesini dalam waktu cepat. 15 menit kemudian Araf melihat Wina yang berlari dari ujung lorong menuju kearahnya dan disinilah Wina berada. Tepat berdiri dihadapannya. Tatapan Wina meminta Araf untuk menjelaskan semuanya namun Araf tidak sanggup menjelaskan apa pun dan hanya menunjuk ke arah layar di depan pintu rumah sakit.

Sedetik kemudian, tubuh Wina tersungkur ke lantai, dirinya diam dan akhirnya menangis dengan sangat kencang. Araf yang melihat hal itu segera memeluk istrinya dengan erat. Ikut menangis sambil memeluk Wina.

"Aku sudah berjuang keras untuk membantu brengsek itu! seharusnya dari awal aku tidak menerima perjanjian dengan brengsek itu!"

*** 

(un) Happy WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang