Ana berdiri terdiam di depan pintu kamar yang entah sudah ratusan kali ia temui itu. Seakan telah menjadi rutinitasnya, Ana menatap kosong pintu, memejamkan matanya 3 detik, dan menghela nafas berat, kemudian tersenyum. Perlahan ia membuka pintu itu dan senyumnya masih menggantung ketika lelaki paruh baya sedang memunggunginya menatap ke arah luar jendela dengan kursi roda.
lelaki itu tidak menggubris kedatangan Ana yang ikut duduk disebelahnya. Ana masih dengan senyumannya perlahan memegang tangan lelaki paruh baya itu sambil memijitnya pelan. Sekarang apa yang dilakukan Ana sudah menjadi rutinitas baginya. Menemani laki-laki ini duduk berjam-jam sambil menatap ke arah luar jendela yang memperlihatkan langit biru hingga menjadi langit senja, persis seperti saat ini.
"Kamu tau nggak? hari ini Asha sudah resmi bukan tanggung jawab kita lagi, coba lihat ini." Ana menunjukkan undangan pernikahan minimalis yang mengukir nama Asha & Handaru. Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke undangan yang ditunjukkan Ana, menatap kosong begitu lama.
"Pertama kali aku kenalin ke kamu soal Asha, waktu berumur balita dan liat dia sekarang, sudah dewasa sepenuhnya. Kamu tau kan waktu aku kasih nama Asha untuknya, Aku mendoakan arti "asa" atau "harapan" untuknya. Aku tau kamu pasti mendoakan itu juga kan?" laki-laki itu masih menatap luar jendela dengan pandangan kosong, seolah menganggap Ana tidak ada diruangan itu.
"Handaru artinya wahyu dan kebahagiaan, Asha cerita arti nama calon suaminya itu sama sekali jauh sama mukanya, katanya Daru jutek kalo dia ga mulai genit duluan. Lucu ya? walaupun bukan dari darah daging kita, Asha persis kaya aku loh, sama-sama cerewet kalo liat cowo jutek. Kan kamu dulu juga begitu ya?" Ana perlahan menahan sesuatu untuk tidak jatuh dari kedua matanya, ia semakin mengeratkan genggamannya dalam jemari laki-laki itu.
"Aku harap, kehidupan pernikahannya penuh harapan kebahagiaan. Tidak mengalami kesulitan apapun. Kamu juga berdoa ya." laki-laki itu tidak bergeming. Tiba-tiba tangannya bergerak menuju sudut meja dan mengambil bingkai foto tidak jauh dari posisi kursi rodanya. Ana masih menahan tangis, mencoba mengatur suaranya untuk tidak bergetar.
"Heh, itu foto kita waktu sama-sama masih muda loh, sekarang kan udah ubanan, udah mau jadi kakek nenek. Tapi masih cantik ya aku?" laki-laki paruh baya itu lagi-lagi tidak menjawab Ana. Ia hanya menatap bingkai foto itu dan mengusapnya berkali-kali. terlihat foto pernikahan dirinya ntah sudah berpuluh tahun lamanya saat ia masih muda kala itu. ini terlalu menyakitkan.
Entah sudah jutaan usaha yang dilakukan Ana hingga detik ini ia bisa menemani Wildan. Setelah ditutupi berpuluh tahun oleh Araf, Wildan secara total telah dirawat di rumah dengan penyakit kejiwaan yang ia derita setelah semua kejadian yang menimpa mereka kala itu. Ingin tau apa yang paling mengiris hati Ana setiap menemui Wildan? rumah ini merupakan rumah yang waktu itu pernah dijadikan tempat singgah kedua orang tua di Bandung, yang ternyata telah dibeli oleh Wildan untuk Ana dan mengatasnamakan semua suratnya dengan nama Ana. Araf bilang, dari semua rumah yang dimiliki Wildan, hanya ini yang tidak ingin ia jual. Ketika pertama kali mengetahui kondisi Wildan, Ana memeluknya histeris namun kalimat pertama yang diucapkan Wildan justru "kamu siapa?".
Dan disinilah Ana sekarang, menemani Wildan setiap hari hingga senja datang. Bercerita tentang apa saja yang Ana lakukan dalam hidupnya. Dari mengadopsi Asha sebagai anak, merintis usaha bersama Wina dengan brand sepatu mereka, Arsya dan Ashilla kedua anak Wina yang telah memiliki keluarga masing-masing, dan banyak hal lain. Semua cerita itu tidak ada satupun yang ditanggapi oleh Wildan. Kesehariannya hanya menatap kosong keluar jendela sambil mengusap foto pernikahan mereka.
Ana perlahan memeluk laki-laki paruh baya itu erat, menyenderkan kepalanya di bahu kanan dan kembali menggenggam erat jemari laki-laki itu sambil ikut memegang bingkai foto yang ada di pangkuannya.
"Wildan, aku sayang kamu. Menua bersamaku ya?"
dan untuk pertama kalinya, Wildan membalas genggaman jemari Ana. tidak erat, namun jari-jari itu ikut mengusap jemari Ana. Perlahan dan hangat, bersatu dengan tangis Ana dalam diam.
*** END ***
NOTES:
HALOO SEMUANYA! setelah pertimbangan cukup lama dari tahun 2016? haha akhirnya aku bisa ganti alur ending cerita ini dengan versi yang jauh lebih baik. Terimakasih sekali bagi readers yang sudah membaca dari tahun 2016 hingga saat ini di 2019. Aku masih banyak belajar untuk menulis lagi. karena sebuah cerita itu bagi penulis bukan hanya dari sebuah kata, tapi menuangkan rasa. Doakan semoga di cerita selanjutnya lebih baik ya! AKU SAYANG KALIAN!!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
(un) Happy Wedding
Romancefollow dulu apabila ingin membaca! Happy Reading! "Aku membencinya, dimulai dari perkenalan yang luar biasa tidak terduga. Aku benci sifatnya yang egois. Aku begitu membenci laki-laki itu hingga membuat Aku tidak bisa menjauh dari dirinya.." - Ana...