TIGA PULUH DELAPAN

22.6K 1.1K 27
                                    

*NOTE : Sebelumnya tentang penjelasan medis pada chapter ini hanya informasi secara umum ya, jika terdapat kesalahan mohon dimaklumi karena Author bukanlah ahli dalam bidang kesehatan. ENJOY READING! :)

==========================================

Minggu ke -1

Araf dan Wina melihat dari kaca luar pintu ruangan, memperhatikan Wildan yang tertidur di sebelah Ana. Selalu seperti itu dengan posisi yang sama. sejak Ana dinyatakan koma dan Yudika sama sekali tidak bisa memprediksi kapan dia akan terbangun, Wildan selalu ada disana, disebelah Ana. Wildan selalu datang di jam yang sama, jam delapan pagi sebelum ia pergi berangkat ke kantornya dan kembali lagi saat jam lima sore dan setelah itu Wildan akan duduk disebelah Ana sampai keesokan harinya lagi.

Baik Araf maupun Wina sudah memberitahu kepada Wildan untuk tidak terlalu khawatir karena mereka berdua akan siap menjaga Ana setiap jamnya. Semuanya hanya dibalas oleh senyuman dan satu kalimat 

"Saya sudah terlalu banyak meninggalkannya, jadi sekarang biarkan Saya yang menjaganya." Setelah kalimat itu ia ucapkan Wina dan Araf tidak berani untuk berbicara apa pun lagi.

Wildan sehat secara fisik, tapi tidak dengan batinnya. Hari pertama di minggu pertama wildan sama sekali tidak bisa berhenti menangis saat duduk di sebelah Ana dan menatap wajahnya. Araf tahu, kejadian dalam hidup Wildan semuanya ia lakukan hanya untuk Ana dan jerih payahnya untuk melindungi perempuan itu seketika sirna saat hasilnya menjadi Ana yang koma dan tidak kunjung membuka matanya.

"Raf, apakah Wildan akan terus seperti itu? dia juga butuh mengurus dirinya sendiri kan?" tanya Wina menatap kedua mata Araf khawatir.

"Apakah kamu akan sempat mengurus dirimu saat aku terbaring koma seperti Ana?"

"Tidak! Aku pasti akan selalu di sampingmu setiap hari!"

"Karena itulah Wildan tidak bisa mengurus dirinya saat ini, Win. Karena sekarang yang ia fokuskan hanya satu, Ana seorang."

*

Minggu ke-2

Suara detak jantung Ana sudah ibarat lagu bagi Wildan di telinganya. Ia menyukai suara itu dan tidak ingin suara itu hilang dari telinganya.

"Ana, apakah Aku tidak boleh melihat matamu sebentar saja?" tidak ada jawaban, Ana tidak bergerak sedikitpun.

Wildan kemudian beralih ke alat pendeteksi jantung tak jauh dari ranjang Ana. Ia kemudian tersenyum dan kembali menatap ke wajah Ana yang tertidur.

"Kamu tahu tidak apa yang aku suka dari kamu, Ana?" sekali lagi, tidak ada jawaban yang terdengar,

"Suara detak jantung kamu." 

Wildan kemudian tersenyum lagi. kemudian ia teringat perasaan hangat saat ia memeluk Ana untuk pertama kalinya. Saat itu ia begitu marah Ana keluar dari mobil hanya karena ia membeli rumah atas nama perempuan itu, saat pulang ke rumah pun ia sudah dalam keadaan mabuk. Saat melihat Ana yang muncul di pintu depan rumah, tanpa sadar ia memeluk Ana berkata "Jangan lagi."

"Kembalilah Ana, Aku ingin merasakan pelukan itu lagi."

*

Minggu ke-3

Wildan masuk ke dalam ruangan Yudika dengan wajah datar. Sebelumnya saat ia berada di kantornya, yudika meneleponnya dan menyuruhnya untuk datang ke ruangannya untuk berbicara masalah Ana. Saat itu juga Wildan menyerahkan semua rapat dan pekerjaan dengan Araf dan David.

"Duduklah Wildan," Wildan mengikuti perintah Yudika dan duduk diam di kursi di hadapan Yudika.

"Langsung saja katakan ada apa." Wildan menatap kedua mata Yudika, saat itu juga Yudika kaget melihat sorotan mata itu. sorotannya begitu pedih, menyakitkan, bercampur dengan keputusasaan. Wildan tidak pernah mempunyai sorotan mata itu sebelumnya.

"Ini sudah minggu ketiga, Wildan. Semuanya stabil, detak jantungnya-"

"Yang Saya butuhkan bukan melihatnya stabil terbaring disana, tapi kapan dia bisa membuka matanya?!" teriakan Wildan menggema di ruangan Yudika. Ini pertama kalinya Wildan selama tiga minggu ini.

"Aku juga tidak bisa melakukan apa pun Wildan, Aku tidak bisa memprediksi kapan Ana akan bangun. Semua pengobatan sudah Aku berikan yang terbaik, memeriksanya setiap jam, mencatatnya, tapi semua itu Ana tidak bereaksi apa pun."

"Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?"

"Aku ingin saat ini kau jangan menyerah, Ana butuh 'dorongan' yang membuatnya bangun."

"dorongan?"

"Ya, dan yang bisa memberikan itu hanya kamu." Wildan kemudian menunduk dan bahunya kembali lemas.

"Wildan, Ana itu koma, dia tertidur hanya saja dalam jangka waktu yang lama. Kejadian penembakan itu membuat tubuhnya shock dan kejang karena itulah ia mengalami koma. Kau harus membuatnya bangun."

*

Minggu ke-4

Wildan berdiri di depan pintu ruangan Ana, terdiam disana sambil menatap dari luar kaca pintu melihat Ana yang terbaring di ranjangnya.

"Ada apa?" Araf kemudian bertanya di sebelah Wildan. Mereka berdua sama-sama terdiam dalam beberapa menit,

"Apa sebaiknya Aku menyerah saja?" Araf tidak mengalihkan pandangannya dari pintu, mereka berdua sama-sama tidak ada yang menoleh.

"Kau akan menyusul Ana, itu maksudmu?" Araf mengepalkan kedua tangannya dan menoleh ke arah wildan di sebelahnya. Wildan yang mendengar ucapan Araf hanya tersenyum.

"Terimakasih, Raf." Kemudian Wildan membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan, meninggalkan Araf yang menatapnya bingung.

Wildan kemudian tersenyum saat melihat wajah Ana yang masih saja tidak ada respon. Entah kenapa, saat melihat wajah Ana, semua beban yang Wildan rasakan menghilang dan membuatnya tidak bisa menahan untuk tidak senyum karenanya.

"Ana kamu tahu tidak sekarang hari apa?" perlahan Wildan mengambil jemari kiri Ana dan menggenggamnya.

"Perceraian kita. Ingat?" kali ini Wildan hanya menatap jemari Ana, matanya tidak berani untuk melihat wajah Ana secara langsung.

"Aku meminta kita bercerai dalam waktu satu bulan, tepat hari ini."

"Apakah Aku benar-benar harus melepaskanmu seperti yang kamu minta, Ana?"

Kemudian Wildan menatap ke arah wajah Ana, wildan berdiri dan mendekatkan dirinya ke telinga Ana,

"Karena faktanya, Aku suami kontrakmu yang brengsek ini, tidak mau melepaskanmu seperti yang kamu minta." 

Wildan menangis diam, kemudian Saat Wildan menjauhkan dirinya dari telinga Ana dan menata ke wajah Ana, kedua matanya kaget.

Ana menangis dengan kedua matanya yang terpejam.

***

(un) Happy WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang