Araf memegang ganggang pintu dengan penuh keraguan, ragu apa yang akan Dia lakukan jika sudah masuk di dalam sana. Hal itu dilakukan Araf sudah lima menit lamanya, mondar-mandir di lorong ruangan dengan pintu besar yang tertutup rapat disana.
"Pak Araf? Ada yang bisa Saya bantu?" Tanya David kepada Araf dengan penuh tanda tanya.
"No, I'm fine, Vid." David yang mengerti dengan jawaban Araf segera menghilang pergi menuju ke dalam lift, meninggalkan Araf yang masih mondar-mandir gelisah di lorong. David tahu jika jawaban Araf seperti itu tandanya untuk meninggalkannya sendirian.
"Araf?" Araf yang mendengar sang pemilik suara terkejut, ia tidak tahu Wildan baru kembali ke ruangannya.
"Wildan ada yang harus Aku beritahu. Big news."
"come in."
Saat memasuki ruang kerja Wildan, Araf hanya bisa duduk gelisah dan memainkan jarinya. Itu sudah kebiasaan Araf jika sedang dalam keadaan tidak nyaman.
"coffe?"
"i'm fine."
Wildan masih sibuk membuat kopi sampai akhirnya ikut duduk di sofa berhadapan dengan Araf.
"Jadi ada apa, Raf? Seburuk itukah berita yang ingin kamu bicarakan?"
"Arza sudah kembali, Wildan." Jemari Wildan yang sedang memegang gelas kopi miliknya bergetar, mengepal sangat kuat.
"Arza Kartadimadja?"
"Menurutmu ada berapa anak Kartadimadja selain dia?"
Wildan tidak menjawab apapun, jemarinya terlihat sangat merah akibat mengepal terlalu kuat. Wildan tidak sadar akan hal itu.
"Jangan sebut nama brengsek itu di depanku."
"Wildan kamu tau dia pasti akan kembali,"
"Kau tau kan berapa tahun perjuanganku untuk hampir membunuh brengsek itu?"
seketika suara Wildan berubah sangat dingin, Araf yang melihat Wildan yang benar-benar marah sekarang juga terlihat bergetar. Aura Wildan jika dipancing amarahnya bisa membuatmu tidak berkutik di tempat.
"Kita sudah melakukan semuanya Wildan. Kau tau kita berusaha membuatnya menderita selama ini. Akhirnya setelah sekian lama dia kembali."
"..."
"Wildan, Ana harus-"
"Keluar."
"Wildan hal ini tidak bi-"
"Aku bilang keluar sekarang!"
tidak butuh waktu lama untuk Araf tetap berada di ruangan Wildan. Gelas yang barusan di lempar Wildan tepat di depan Araf sudah memperjelas apa yang Wildan inginkan. Wildan hanya ingin sendiri sekarang.
Wildan berdiri di hadapan jendela besar ruangannya. Ingatan menyakitkan itu kembali terngiang di kepala Wildan. 12 tahun sudah ia lewati setelah kejadian itu. 12 tahun sudah ia berusaha untuk tidak memikirkan hal yang menyakitkan itu.
wildan menatap jauh keluar jendela dengan tatapan kosong,
"Sekarang Saya harus bagaimana lagi Ana?"
***
Selalu saja seperti ini, sudah lewat tengah malam dan laki-laki egois itu belum juga pulang. Rumah ini terlalu besar untuk Ana tinggali sendiri, Mba Erna hanya di hari tertenju saja menginap. Setidaknya bisakah dia peduli dengan barang yang sudah ia beli dengan hasil jerih payahnya sendiri? Sesulit itukah untuk membawa tubuhnya ke rumah ini?
Tiba-tiba ponsel Ana bergetar, tanda panggilan masuk. Tertulis disana 'direktur' panggilan masuk. Cih, dia pikir dia siapa untuk meneleponku?
Dering pertama,
Dering kedua,
Dering ketiga,
"Kamu tahu tidak, Aku sudah berjanji tidak akan memperdulikanmu, tidak akan mengangkat telepon darimu!"
"...."
"Tapi kau tau apa? Baru dering ketiga jariku langsung mengangkat panggilanmu!"
"...."
yang terdengar hanya deru nafas Wildan yang tenang, Wildan hanya diam dan membiarkan Ana berteriak di sambungan telepon.
"Berhentilah seperti ini Wildan, Aku lelah dengan diriku sendiri yang berusaha untuk berhenti peduli sama kamu."
"Ana, bisakah kamu kesini?" nada Wildan terdengar lemah, hampir tidak terdengar.
"Aku ini bukan perempuan murahan wildan, aku tidak segampang itu untuk kembali kepadamu."
"Ana tolong, Aku butuh kamu."
Sialan.
Tanpa Ana sadari setelah kata-kata butuh yang diucapkan direktur brengsek itu, kaki Ana langsung berlari menuju ke depan rumah. Baru saja membuka pintu depan, wildan berdiri tepat di tengah pintu. Nafas Ana masih belum teratur, lari dari kamarnya menuju ke depan rumah membutuhkan tenaga ekstra untuk berlari lebih cepat.
"Bisakah kamu berhenti untuk menyiksaku sekali saja?" ucap Ana sedikit berteriak ke arah Wildan dengan nafas cepat.
Mata wildan tidak beralih kemana pun, ia hanya menatap ke satu arah, tepat ke mata Ana. Ia berdiri di sana dengan kemeja putihnya yang kusut, dasinya yang sudah dilonggarkan, matanya yang memerah, rambutnya yang berantakan dan jemarinya yang berdarah.
"Jadi, sudah membuatku menjadi perempuan gampangan, apa lagi yang kamu minta dariku, Wildan?"
"Peluk aku."
Mata Wildan terlihat bergetar saat mengatakan kalimat itu, tanpa Ana sadari dirinya sudah melingkarkan tangan di leher Wildan, memeluknya dengan erat. Wildan menenggelamkan wajahnya di bahu kanan Ana dan menangis disana.
"Ana, sekarang Saya harus bagaimana lagi untuk Kamu?"
Ana yang mendengar pertanyaan wildan hanya diam, tidak mampu menjawab pertanyaannya. Tangisan Wildan begitu menyakitkan, terdengar tepat di telinga kanannya dan itu membuat hatinya sesak.
Aku benci ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
(un) Happy Wedding
Romancefollow dulu apabila ingin membaca! Happy Reading! "Aku membencinya, dimulai dari perkenalan yang luar biasa tidak terduga. Aku benci sifatnya yang egois. Aku begitu membenci laki-laki itu hingga membuat Aku tidak bisa menjauh dari dirinya.." - Ana...