Wina berjalan lemas menuju sofa yang ada di ruang tengah dan berusaha untuk duduk di sana. Kepalanya benar-benar mau pecah memikirkan apa yang dikatakan Ana kepadanya.
Dalam 100 hari lagi, Gue bakal pergi dari semuanya win. Gue udah capek.
Wina menggelengkan kepalanya berusaha untuk menghilangkan kalimat yang dikatakan Ana, tapi percuma saja. Sedetik kemudian terdengar suara pintu yang di buka dengan keras dan berdirilah Araf di sana, menatap Wina seperti orang gila dengan sorotan matanya yang cemas. Araf kemudian berlari dan langsung memeluk Wina, memeluknya dengan erat dan mengusap puncak kepala Wina pelan.
"Sudah pulang, Raf? Bagaimana Wildan?"
Wina yang tidak mendengar balasan dari Araf hanya bisa membalas mengusap punggung araf perlahan. Wina tahu, keheningan diantara dirinya dan suaminya saat ini sudah memiliki jawaban masing-masing. Wina memejamkan matanya di bahu Araf yang kokoh, betapa ia merindukan bahu suaminya yang seperti ini.
"Araf, bagaimana Wildan?"
"Persetan dengan semua ini, Win. Aku tidak bisa lagi melihat keadaanmu seperti ini."
Araf menenggelamkan wajahnya di pelukan Wina. Wina tahu, Araf menangis. Sudah cukup lama Araf tahu tentang semuanya, tentang wildan, ana, ayahnya, dan semuanya. Wina tahu betapa Araf menahan segala hal dalam beberapa tahun ini.
Araf tidak pernah berubah, itu yang Wina suka. Araf selalu saja mampu membuatnya merasa ia adalah perempuan yang paling di lindungi di seluruh bumi ini dan Araflah yang mampu membuktikan hal itu. Araf tidak pernah menangis, ia selalu tersenyum di depan Wina. Araf juga tidak pernah berbohong, karena wina tahu mata araf selalu bisa bicara dengan jujur. Araf tidak pernah mengeluh, walaupun Araf selalu menjadi orang yang ada untuk Wildan kapan pun, Araf tetap melakukannya. Wina selalu menyukai hal tentang araf. Tentang semua dirinya.
"Tidak apa-apa, Raf, Aku baik-baik saja."
"Kita tidak baik-baik saja, Wina."
Wina kemudian mengangkat wajah Araf yang sudah penuh dengan tangisan, wajahnya memerah menahan amarah yang selama ini ia tahan sendirian. Wina ingin menangis, jujur saja suaminya sudah cukup melakukan semuanya sendirian untuk membantu seseorang dalam hidupnya.
"Kita akan baik-baik saja, Raf.."
"..."
"Selagi ada aku, Arsya dan anak kita, kita akan baik-baik saja."
Araf kemudian mengeratkan pelukannya. Araf selalu mencintai Wina dalam segala hal. Wina selalu bisa membuatnya melakukan apa pun. Wina mampu membuatnya melakukan hal yang menurutnya tidak mungkin, wina selalu bisa melakukannya.
Jika orang mengatakan wina terlalu cerewet dengan segala hal, maka Araf akan mengatakan Wina membuatnya bersyukur karena masih peduli dengannya lewat celotehannya. jika orang mengatakan wina bukan perempuan yang cantik untuknya, maka araf akan mengatakan ia bersyukur. dimatanya Wina adalah perempuan yang paling cantik yang bisa ia pandangi di setiap paginya.
"Wina, Apa kita akan baik-baik saja?"
"Ya. Aku selalu percaya kamu, Araf, suamiku." Wina mengatakan kata-kata itu tepat di telinga kanannya.
Araf mencintai wina lewat suaranya yang mampu membuatnya terhipnotis di setiap detiknya. Apa Wina selalu sempurna menjadi istrinya dan ibu dari anaknya? Tidak, wina mampu membuat dirinya sempurna dengan semua hal yang dimiliki Wina. Wina mampu membuatnya percaya jika seluruh dunianya hancur, wina akan memastikan Araf tidak akan sendirian di dunianya yang hancur itu.
"Wina, masih ingat kata-kata saat Aku melamar kamu?"
"hmm?"
"kamu akan selalu jadi rumah bagi Aku dan anak-anak Aku, Wina." Dan Araf mencintai hal itu, jika Araf tersesat dan tidak tahu harus kemana, maka rumah adalah tujuannya dan itu adalah Wina, istrinya. Rumah baginya dan anak-anaknya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
(un) Happy Wedding
Romancefollow dulu apabila ingin membaca! Happy Reading! "Aku membencinya, dimulai dari perkenalan yang luar biasa tidak terduga. Aku benci sifatnya yang egois. Aku begitu membenci laki-laki itu hingga membuat Aku tidak bisa menjauh dari dirinya.." - Ana...