DUA PULUH ENAM

21.5K 1K 7
                                    


Sinar cahaya yang masuk melalui jendela besar kamar membuat Ana terbangun. Perlahan Ana membuka matanya dan melihat ke sekelilingnya dengan setengah sadar.

Kenapa Aku ada di kamar Wildan?

Kepala Ana terasa berat dan pusing, sejak ia jatuh tertidur di club, ia sama sekali tidak mengingat apa yang terjadi tadi malam. Tak lama kemudian, Ana merasakan tubuhnya terasa hangat. Saat mata Ana sudah sepenuhnya sadar, ia melihat Wildan yang tertidur pulas di sampingnya.

Ana hanya diam, ia sama sekali tidak menjauhkan posisinya dari tubuh Wildan yang masih tertidur. Tangan kanan wildan melingkar di bahunya, wajah Ana sejajar dengan dada bidang Wildan. Ana perlahan menelusuri wajah Wildan, Rambutnya yang berantakan dan sedikit menutupi pipinya, bibir merahnya, hidungnya yang lancip, rahangnya yang tegas, Ana menelusuri semuanya.

Kemudian, Ana terkejut saat dering nada telepon terdengar dari ponsel Wildan yang berada di meja kecil di sebelahnya, muncul nama David disana.

"Selamat pagi, Pak. Hari ini kita akan melakukan pemeriksaan di rumah sakit lagi, Saya harap Bapak datang kali ini." Ana yang mendengarkan ucapan David di sambungan telepon hanya bisa terdiam, otaknya tiba-tiba berhenti berpikir.

"Halo, Pak?"

"Da..David?" tiba-tiba David tidak menjawab di sambungan telepon, terdengar helaan nafas berat David disana, kemudian ia menjawab,

"Selamat pagi, Ibu Ana."

"Apa yang kamu ucapkan barusan? Rumah sakit?" terdengar lagi helaan nafas David, kali ini ia membiarkan sambungan telepon diam cukup lama.

"David jawab Saya."

"Saya tidak diperbolehkan untuk menjelaskannya, Bu. Tolong maafkan Saya." Kemudian panggilan terputus. Ana kemudian menurunkan ponsel dari telinganya lemas, dirinya tidak mengerti sebenarnya apa yang diucapkan David?

Ana kemudian melihat ke sebelahnya dan Wildan sudah terbangun menatapnya dengan tatapan tajam,

"Wildan, A..Apa yang terjadi?"

"Keluar, Ana."

"Jelaskan padaku, pemeriksaan apa?!" Ana berteriak saat mengucapkan pertanyaan itu kepada Wildan.

"Apa kamu tidak dengar? Aku bilang keluar sekarang!"

Sedetik kemudian, Ana sudah melingkarkan kedua tangannya di leher Wildan. Ana memeluknya dengan erat, terjadi begitu saja tanpa persetujuan Wildan yang masih terdiam kaku.

"Wildan, Kamu kenapa?" Ana berbisik di telinga kanan wildan. Wildan yang merasakan pelukan Ana setelah sekian lama, menutup kedua matanya. Ia begitu merindukan ini, kehangatan yang selalu ada pada diri Ana. Tapi, kemudian Wildan membuka matanya saat ia kembali mengingat yang terjadi 12 tahun lalu.

"Keluar, Ana." Wildan melepaskan pelukan Ana, ia membuang jauh kedua tangan Ana yang sebelumnya berada di lehernya.

"Apa kita akan selamanya seperti ini?" Ana menatap kedua mata Wildan yang hitam pekat. Setiap Ana menatap kedua mata itu, hatinya selalu sakit. Tatapan Wildan seperti memintanya untuk tidak pergi disaat kata-katanya berlawanan dengan hal itu. Ana selalu penasaran sebenarnya apa yang laki-laki ini sembunyikan dibalik mata hitam pekatnya yang kosong itu?

"berapa hari lagi, sekarang?"

"Apa sekarang kamu mulai peduli denganku?"

"Ya. Sangat."

Mereka terdiam di posisi masing-masing. Wildan mengalihkan pandangannya ke arah lain, sedangkan Ana masih menatap ke arah Wildan dengan mata yang berair.

"Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dari Aku, Wildan?"

"Berapa hari lagi, Ana?"

"Apa?"

"Hari sampai kamu meninggalkan Saya." Wildan sekarang menatap ke arahnya dengan pandangan itu lagi, pandangannya seperti berkata 'jangan tinggalkan Aku.'

"70 hari lagi."

"Tinggalkan Saya dalam waktu 30 hari lagi."

"Apa hakmu untuk menyuruhku melakukan itu? Aku yang ingin meninggalkan semuanya."

"Waktu Saya tidak banyak lagi untuk kamu Ana."

Ini menyakitkan.

***

(un) Happy WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang