TIGA PULUH SEMBILAN

22.1K 1K 11
                                    


Wildan memasuki ruangan kecil itu dengan sorotan mata yang begitu kuat. Kepalan ditangannya tak kunjung ia lepaskan.

"Silahkan duduk disini, Pak." Wildan mengikuti perintah penjaga lapas itu dan duduk di depan sebuah kaca penghalang dengan diam.

Beberapa menit kemudian, muncullah seorang laki-laki yang tubuhnya sudah begitu kurus dan kulit yang begitu kusam. Laki-laki itu menatap wildan dengan sorotan mata dingin dan duduk di hadapan Wildan. Mereka berdua duduk dibatasi oleh kaca pemisah.

"Apa maumu?"

"Itukah yang kau katakan setelah hampir membunuh seseorang?"

"Brengsek, apa maumu?!" laki-laki itu berteriak dengan sangat kencang namun wildan tidak takut. Ia hanya menyeringai dan kemudian kembali ke wajah datarnya lagi.

"Bajingan, kau seharusnya mati saja Arza." 

Arza laki-laki itu yang awalnya menatap Wildan dengan tatapan membunuh sekarang berubah tertawa dengan sangat kencang. Wildan yang melihat reaksi Arza hanya bisa bingung namun disembunyikannya lewat wajahnya yang tanpa ekspresi.

"Bukannya sekarang istrimu sudah menuju kematian? Kau seharusnya menyusul saja." 

Sedetik kemudian Wildan berhasil membuat kaca pembatas antara tahanan dan pengunjung retak. Penjaga lapas yang melihat hal itu hanya diam, karena sebelumnya memang sudah diberitahu oleh David, apa pun yang terjadi mereka akan bersikap seperti 'tidak terjadi apa-apa' karena Wildan adalah orang berpengaruh di negara ini.

"Hanya segitu saja kemampuanmu? Membuat kaca menjadi retak seperti ini?"

"Saya masih manusia, bukan binatang seperti dirimu."

"Binatang katamu? Hati-hati, karena binatang bisa mencabik-cabik dagingmu dengan cepat." Ucap Arza menyeringai di hadapan Wildan.

"Tidak bisakah kau lihat bagaimana hidupmu sekarang? Untuk apa kau melanjutkan hidupmu?" Arza hanya diam untuk beberapa detik kemudian mendekat ke kaca yang sudah retak di antara mereka.

"Apa kau menanyakan itu kepadamu juga?" Sekarang wildan yang terdiam menatap ke arah Arza yang masih tersenyum licik.

"Wildan Adiatma, hidup kita sudah berantakan, apa kau pikir kita bisa hidup bahagia seperti layaknya happy ending yang ada pada dongeng?"

"Jangan pernah samakan Saya dengan kehidupanmu yang kotor itu."

"Sadarlah, kehidupan kita sudah terlanjur kotor tidak ada jalan lain untuk bahagia." Wildan kemudian menatap Arza dengan tatapan ingin membunuh, sama seperti dulu.

"Apa kau marah karena Aku hampir membunuh perempuan itu?" kemudian Arza tertawa lagi dan melanjutkan ucapannya,

"Kau tidak ada hak untuk marah Wildan, kau mencintai perempuan itu? kau ingin hidup bahagia dengannya dan melupakan semua masalah ini? Brengsek, kau tidak akan bisa bahagia. Kau tahu itu Adiatma."

Wildan yang awalnya bersiap melayangkan kepalannya ke arah kaca pembatas untuk kedua kalinya sekarang melepaskan kepalan tangannya. Walaupun Arza begitu brengsek, tanpa sadar pikiran Wildan membenarkan apa yang dibicarakan Arza. Semua yang ia ucapkan tepat mengetuk pintu hatinya.

"Kenapa? Aku benar kan? Baik Aku maupun kau, kita sama-sama pembunuh. Apa menurutmu pembunuh berhak untuk bahagia seperti manusia normal lainnya? Pikirkan lagi mimpimu itu brengsek."

Arza kemudian berdiri dan meminta penjaga lapas untuk mengantarnya kembali ke dalam sel, namun saat Arza ingin melangkah keluar, ia berhenti dan melanjutkan ucapannya.

(un) Happy WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang