DELAPAN BELAS

23.2K 1.1K 0
                                    


FLASHBACK

"Perkenalkan ini anakku Baskara, Wildan Adiatma."

Beno memperkenalkan Wildan di hadapan Baskara yang terbaring lemas di ranjangnya. Wildan yang duduk di sebelah Beno langsung menyalami tangan Baskara yang begitu kurus dan lemah. Wildan yang melihat keadaan Baskara hanya bisa meringis dan prihatin, tapi ekspresi wajah Wildan tanpa ekspresi.

"Beno, Ana bagaimana?"

"Tenang saja, sudah ada Wina yang mengurusnya. Ana terlalu shock melihatmu pingsan begitu saja."

Baskara diam dan tidak menjawab apapun. Ia sudah tahu cepat atau lambat keadaannya akan memburuk.

"Aku rasa sekarang sudah waktunya, Beno."

"Aku berhasil mengusir brengsek itu, sekarang semuanya akan baik-baik saja, Baskara."

"Jangan sebut brengsek itu di saat Aku terbaring lemah seperti ini." Kemudian suasana menjadi suram. Wildan yang melihat kedua orang tua yang ada di depannya berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.

"Saya akan menjaga, Ana."

"Tapi Wildan, bagaimana caramu melakukannya? Ana sama sekali tidak mengenalmu"

"Izinkan Saya menikahinya, Om." Baskara menatap wildan dengan mengerutkan dahi, bingung dengan keputusan Wildan yang tiba-tiba.

"Aku tahu, Beno adalah satu-satunya orang yang bisa Aku percayai. Tapi, menikahi putri semata wayangku dengan orang yang tidak dikenalnya? Apa maksudmu?"

"Baskara, kita sudah sepakat untuk melindungi Ana dan menjauhinya dari masalah ini. Siapa yang bisa menjamin Ana akan baik-baik saja dengan keadaanmu yang seperti ini?" Baskara menghela nafas berat, jantungnya memang sudah tidak sanggup lagi bertahan. Baskara tahu, semuanya akan berjalan hanya dalam hitungan hari saja.

"Jadi, Wildan, Apa yang bisa membuatku mempercayai putriku kepadamu?"

"Izinkan Saya menikahinya dan Saya akan menjaganya."

"Jangan pernah menyakitinya, Wildan. Ana sudah cukup banyak menderita selama hidupnya.

Wildan terbangun setelah mengingat kenangan menyakitkan itu lagi. semuanya terasa nyata seperti baru terjadi kemaren dan itu membuat Wildan berkeringat dingin.

"Wildan?"

Hal pertama yang didapati wildan saat sadar adalah Araf yang menatapnya dengan cemas dan beberapa suster yang sibuk mengecek keadaannya. Sedetik kemudian Wildan tahu, untuk kesekian kalinya ia di rumah sakit lagi.

Saat wildan berusaha untuk berdiri, kepalanya terasa sangat sakit seperti mau pecah. Kemudian Wildan sadar kepalanya sudah dibaluti oleh perban.

"Kamu kecelakaan, Wildan."

"Apa yang dikatakan Yudika?" Wildan menatapnya tajam, walaupun Wildan lemah seperti ini, sorotan matanya tidak melemah. Araf hanya diam tidak tahu harus bagaimana menjelaskan kepada Wildan.

"Tidak baik." Setelah mendengar dua kata itu, selanjutnya Wildan langsung melepaskan infus yang ada di tangannya lalu segera melepaskan perban yang ada di kepalanya. Wildan memaksakan untuk berdiri dan segera memanggil David untuk membantunya.

"Wildan for god sake kamu baru saja kecelakaan dan kamu akan keluar begitu saja?!" Araf berteriak saat Wildan sudah berada di dekat pintu keluar.

"Waktuku tidak banyak, Raf. Aku harus menjaganya."

***

(un) Happy WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang