TIGA PULUH EMPAT

21.3K 1K 20
                                    


Setelah akhirnya Araf duduk menunggu di kursi tunggu, Yudika dan Beno keluar bersama dari ruangan Yudika. Araf seketika langsung berdiri dan berlari pelan menuju mereka berdua.

"Berhenti menyembunyikan apa pun sekarang, apa yang sebenarnya -terjadi?" baik Yudika maupun Beno sama-sama terdiam. Terutama ekspresi wajah Beno yang memucat dan matanya yang memerah. Ini kedua kalinya Araf melihat ekspresi Beno yang seperti itu setelah kejadian kecelakaan 12 tahun lalu.

"Araf," Yudika akhirnya menatap Araf serius, terlihat dari sorotan matanya yang tertutupi oleh kacamata tipisnya itu.

"Ada apa ini?" kemudian Yudika menyentuh bahu Araf pelan dan tersenyum lemas.

"Bersyukurlah, kau sudah bekerja keras selama ini." Araf mengerutkan dahinya tidak mengerti maksud dari perkataan Yudika.

"Bersyukurlah, Wildan diberikan satu kesempatan lagi untuk menikmati hidupnya dalam waktu yang panjang." Saat mendengar hal itu, Beno akhirnya mengeluarkan air matanya lagi. Melihat hal itu Araf terduduk lemas di lantai, saat itu juga seluruh beban yang ada di kedua bahunya menghilang. Tanpa peringatan, air mata Araf akhirnya mengalir deras. Sudah sekian lama ia menantikan saat seperti, saat dimana hatinya bisa bernafas lega.

"Setelah akhirnya kita melakukan berbagai tes untuk melihat dia positif terkena kanker atau tidak, ternyata hasilnya menunjukkan negatif. Tapi bukan berarti sirosisnya sepenuhnya hilang, Wildan harus tetap melakukan perawatan dan kita semua harus membantunya untuk sembuh."

Semua penjelasan Araf tepat menusuk hatinya dan membuat dirinya menangis lebih deras lagi, setelah akhirnya beberapa tahun ini hatinya setiap hari ingin meledak karena memikirkan bagaimana kondisi kesehatan sahabatnya yang hidupnya mengenaskan itu dan sekarang Tuhan benar-benar menjawab doanya.

Saat Araf masih terduduk lemas, Beno pergi berlalu meninggalkan Yudika dan Araf. Saat Araf ingin memanggilnya segera ditahan oleh Yudika,

"Dia butuh waktu untuk sendiri." Yudika hanya bisa menghela nafas berat saat melihat punggung Beno yang dulunya begitu tegap dan gagah, sekarang sudah terlihat lesu dan mengurus.

"Ayo kita ke ruangan Wildan sekarang."

*

Araf dan Yudika bersamaan memasuki ruangan Wildan di rawat, disana Wildan masih tertidur lemas dan nampak memaksakan matanya untuk tidur. Saat mendengar suara pintu, Wildan segera membuka kedua matanya menatap Yudika dan Araf bergantian, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah langit-langit ruangan.

"Berapa hari lagi sisa waktu Saya, Yudika?" saat itu juga Araf langsung memukul dahi Wildan keras dengan jari telunjuknya.

"Apa-apaan kau ini?!"

"Bersyukurlah brengsek, kau masih diberikan satu kesempatan lagi!!" Araf berteriak sangat kencang namun setelah itu langsung tersenyum lemas ke arah Wildan yang menatapnya dengan tatapan kaget, tak mengerti apa yang diucapkan Araf.

"kali ini, hiduplah dengan baik, Wildan. Jangan hidup dengan cara yang menyedihkan lagi." saat itu juga, mata Wildan memerah dan akhirnya air matanya keluar. Kedua mata Wildan yang tajam itu sekarang menatap ke arah Yudika dengan begitu menyedihkan,

"A..Apa Aku sudah bisa bernafas lega sekarang?" Yudika yang menatap kedua mata Wildan yang berair itu menjawabnya dengan anggukan, mengiyakan pertanyaan Wildan barusan.

Kemudian, Wildan benar-benar menangis terisak, berusaha menahan tangisannya yang begitu deras mengalir di kedua pipinya. Wildan seperti benar-benar melepaskan semua emosi dan beban yang ia tahan dalam pikirannya. Araf yang melihat keadaan Wildan yang menangis begitu kencangnya hanya bisa tersenyum dan ikut menangis dalam diam.

Saat itu juga Wildan teringat dengan ucapannya kepada Ana 6 tahun lalu,

"Apa Aku akan baik-baik saja?" teriak Ana saat laki-laki itu berjalan jauh kemudian ia berhenti dan berbalik.

"Percaya padaku, Kamu akan baik-baik saja."

"Apa aku akan bertemu denganmu lagi?"Ana menatap laki-laki itu yang masih berdiri diam dari jarak yang agak jauh.kemudian laki-laki itu tersenyum kepada Ana.

"Aku yang akan menemukanmu lagi, Ana."

Kemudian Wildan akhirnya mempunyai sedikit kekuatan di tubuhnya untuk berdiri dari kasurnya.

"Apa yang kau lakukan Wildan?! Kau belum sepenuhnya sembuh."

"Kau tau kan, Raf? Aku berjanji menjaganya dan Aku ingin menemuinya sekarang.

Entah mendapatkan kekuatan dari mana, Wildan segera melepaskan infusnya dan bisa langsung segera berdiri dan berjalan pelan menuju pintu keluar ruangan,

"Wildan!" saat Araf hampir menahan Wildan di pintu keluar, Yudika menahan tangan Araf dan tersenyum kepada anaknya,

"Biarkan kali ini dia merasakan apa itu yang dinamakan 'hidup'."

***

Saat Wildan keluar dari pintu ruangannya, David segera berdiri di depannya dan menahannya.

"Pak, kondisi Anda belum pulih sepenuhnya, sebaiknya Bapak masuk kembali ke dalam ruangan."

"Diamlah David, antarkan Saya ke rumah sekarang." Kali ini hati Wildan terasa aneh saat mengucapkan kata 'rumah', ia benar-benar senang saat mengucapkan kata itu sekarang. David hanya bisa menuruti perintah dari Wildan dan segera membantunya untuk berjalan menyusuri lorong ruangan menuju parkiran.

Saat Wildan sudah hampir sampai menuju pintu depan rumah sakit, tiba-tiba mobil ambulance berhenti disana dan beberapa dokter dan perawat segera menuju ke arah mobil itu yang sudah mengeluarkan pasien dari arah pintu belakang.

"Pak, pintu keluar sekarang ramai karena baru kedatangan pasien UGD sebaiknya kita tunggu saja."

"Tidak, kita langsung pergi, David." Akhirnya David menyuruh bodyguard untuk melindungi Wildan dari keramaian.

Saat Wildan tepat ingin keluar dari pintu depan rumah sakit, saat itu juga pasien dari ambulance tadi memasuki rumah sakit lewat pintu yang ada di sebelah Wildan.

Entah kenapa, saat bangsal pasien itu yang ditemani dengan seorang dokter dan beberapa pasien memasuki pintu, Wildan menolehkan kepalanya ke kanan dan berhenti tepat ditengah-tengah pintu keluar rumah sakit.

"Ti..Tidak mungkin, kan?" saat David dan Bodyguard Wildan sudah berada di luar pintu, Wildan segera berbalik dan mengejar pasien yang memasuki ruang UGD barusan dan berhasil menahan dokter dan beberapa perawat itu,

Saat itu juga Wildan mengenali cincin yang terpasang di jari manis pasien perempuan yang dadanya sudah penuh darah itu.

detik itu juga, untuk pertama kalinya Wildan merasakan jantungnya berhenti berdetak.

"A.. Ana..?"

***

(un) Happy WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang