TUJUH BELAS

22.3K 1.1K 1
                                    


"Araf baru aja berangkat nyusul Wildan, An. Dia ditelepon Wildan untuk pergi nyusul dia juga dari malam tadi."

"Lo yakin mereka pergi ke China, Win?"

"...."

"Wina?"

"yakinlah, An. Mana berani Araf bohongin gue lagi hamil gini." Balas Wina dengan candaan. Maafin gue Ana ini demi semuanya.

"Tapi Gue nggak yakin. Gue nggak bisa lagi percaya Wildan, Win."

"Kenapa? Wildan itu suami lo, Ana."

"Lo dimana sekarang?"

Setelah berjanji akan saling bertemu di rumah Ana. Wina membereskan rumahnya dengan cepat dan sebelumnya Wina mengantarkan Arsya ke rumah mertuanya untuk dititipkan. Weekend seperti ini sudah biasa Wina menitipkan Arsy untuk bermain dengan mereka, dan mertuanya dengan senang hati untuk membantu.

Sesampainya di rumah Ana, Wina segera menelepon Araf.

"Raf, Aku di rumah Ana."

"Ada Apa?"

"Raf bagaimana kalo Ana mulai tahu semuanya?"

"Itu tidak akan terjadi."

"Araf, Ana bukan orang bodoh, bagaimana Aku harus menanggapinya?"

"Tetap jadi dirimu sendiri, sayang. Aku percaya kamu, ya?" 

Wina memejamkan matanya, ia merindukan dimana suasana terasa baik-baik saja, dimana tidak ada kekacauan dan kebohongan yang sebanyak ini.

"Aku tutup ya, jaga dirimu dan anak kita." Lalu telepon terputus. Wina hanya bisa menghela nafas berat.

Setelah menelepon Araf beberapa menit, Wina berjalan masuk ke dalam rumah dan langsung masuk, ia tahu Ana selalu membuka pintu saat ada tamu yang ia undang, contohnya seperti ini.

"Ana?" 

Wina melihat Ana duduk di ruang tengah sambil memejamkan matanya, mungkin Ana tidak sadar dengan kedatangan Wina. Saat wina memegang bahu Ana pelan, baru Ana terkejut dengan kedatangannya.

"Hai, Win."

"Apaan sih kok formal banget nyapa Gue, kesambet nenek lampir Lo?" lagi-lagi Wina berusaha mencairkan suasana dengan candaannya, tapi tidak berhasil. Ana biasanya akan membalasnya dengan ledekan yang sama, namun kali ini Ana hanya tersenyum lalu menyuruhnya untuk duduk di sampingnya.

"An, Lo kenapa?"

"Win, normalkah hidup Gue sekarang?" ucap Ana sambil memejamkan matanya lagi. Ana menyenderkan lehernya ke bangku sofa yang empuk. Ana mengucapkan itu sambil menyilangkan kedua tangannya seperti berpikir sesuatu.

"Win, normalkah gue kalo gue bilang gue benci hidup gue?"

"Lo kenapa sih, Ana?"

"Normalkah gue kalo gue udah ditinggalkan dan disakiti berapa kali dan gue masih peduli sama dia?"

"Ana.."

"Normalkah Gue kalo gue bilang gue percaya Wildan bakal sayang gue sepenuhnya?"

kali ini Ana membuka matanya dan menatap Wina dengan mata yang berair. Wina yang melihat hal itu segera membuang pandangannya ke arah lain. Mata Ana tidak pernah bohong, wina selalu bisa merasakan kepedihannya.

"Tapi, ini.. terlalu sakit, Win. Lo bilang gue harus percaya wildan.."

"Haruskah gue tetap percaya saat gue udah dibohongi berkali-kali?"

Wina segera memeluk Ana. Mengelus punggungnya untuk membantu melepaskan semuanya. Wina tidak tahu harus bagaimana, bukan hanya Wildan yang tersakiti atas semua ini tapi juga sahabat baiknya.

"Wina, kasih tau gue, gue harus gimana lagi?"

"Ana.."

"Gue sakit, Win, disaat gue pengen Wildan untuk kembali, tapi gue tahu gue nggak berhak untuk buat dia kembali."

***


(un) Happy WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang