ENAM

30.8K 1.7K 3
                                    


POV WILDAN

Aku terbangun. kemudian melihat ke sekitar dan sadar ini adalah kamarku. pusing sekali rasanya, dasar wine sialan kalo seperti ini aku susah untuk mengingat apa yang terjadi semalam. Seingatku, kejadian tadi malam cukup berbahaya. Bibir Ana rasanya masih melekat hingga detik ini, tapi seingatku tidak ada yang terjadi setelahnya. Buktinya Ana tidak tidur disini dan cuma aku yang ada diatas kasur ini. yes, silahkan hakimi aku atas kejadian semalam. oh tidak mari koreksi, salahkan alkohol. 

berjalan ke laci lemari dan mengambil botol obat disana, penyakitan seperti ini masih saja mau hidup bebas, gila memang kamu wildan. Tapi lebih baik mengalihkan kepada benda daripada manusia kan? bisa bahaya ceritanya jika aku emosi dan harus melampiaskannya kepada setiap perempuan di bumi ini, ya walaupun pasti akan sangat mudah untuk dilakukan. Tapi aku pilih alkohol adalah jawabannya.

Berusaha menyadarkan diri untuk minum obat sialan ini, tidak usah tahu kegunaannya apa karena penyakit bukanlah sesuatu yang harus aku banggakan. Mba Erna yang sibuk menyiapkan sarapan, tersenyum sopan saat aku berjalan ke arah kulkas dan mencari air dingin disana.

"Ibu sudah pergi dari tadi subuh, Pak." 

"sama siapa?"

"sendiri pak." aku terdiam, dan kemudian teringat hari ini adalah hari peringatan kematian kedua orang tua Ana. 

"tadi bawa air kembang atau pakaian serba hitam ga mbak?"

"iya, hari ini pak peringatannya." aku hanya mengangguk dan merenung harus apa sekarang. karena akan ada dua skenario yang kemungkinan akan terjadi saat ini. pertama, aku menyusulnya tanpa memberitahu dan akan diusir setelahnya, atau kedua, aku mengabarinya untuk menyusul dan akan diusir, bahkan sebelum aku sampai ke pemakaman. resikonya sama saja, tapi seorang Wildan berani untuk take a risk, jadi aku akan pilih yang pertama. 

bergegas membersihkan diri dan menyusul Ana, tidak lupa aku mampir untuk beli bunga mawar putih kesukaan ibu dan ayah mertuaku dan sampai menuju tempat pemakaman. seperti kejadian beberapa tahun lalu, sepi, hanya ada Ana yang sedang duduk sendiri disebelah nisan kedua orang tuanya. aku hanya melihatnya dari kejauhan, pengecut memang. tapi aku tidak mau merusak moodnya yang sedang bernostalgia dengan kedua orang tuanya saat ini. saat bahunya sudah mulai bergetar dan menutupi wajahnya, ini pertanda aku harus terjun ke lapangan untuk mengatasi air matanya sebelum jatuh lebih banyak lagi.

"Ma, Pa, maaf ya aku datang sendiri. bukan karena kita berantem, wildan lagi sibuk sama kerjaannya." 

"Saya tidak sibuk, Ana." here we go, bagus sekali kamu ini wildan. seperti pahlawan kesiangan yang datang tanpa diminta. ekspresi ana sangat kaget melihat kedatanganku dan dengan santai meletakkan buket mawar putih di atas nisan Ayah dan Ibunya.

"Ayah, Ibu. Maaf wildan telat datang ya? ana memang suka tidak sabaran anaknya, jadi dia duluan." aku mengusap batu nisan mereka layaknya orang tuaku sendiri. kemudian berpaling ke arah ana yang masih tidak bergeming. 

"kita do'a dulu ya? setelah ini baru bicara" 

10 menit setelahnya, tidak ada satupun baik aku ataupun ana yang berani untuk membuka obrolan. sialan, ini awkward sekali. setelah aku sadari ternyata ana berjalan dibelakangku dan menunduk, apa yang dia pikirkan? entahlah. mana aku bisa tebak jika ia tidak bicara?

"Saya ini tidak akan menggigit kamu, kenapa berjalan di belakang?" lagi dan lagi, ekspresinya kaget namun tidak mengeluarkan isi hatinya.

"Ana harusnya kamu bilang saja jika tidak setuju terhadap sesuatu. kamu tidak suka saya berjalan didepan atau terlalu cepat? ya tinggal bilang saja, saya ga bisa nebak isi hati manusia. susah."

"Kamu kenapa kesini?"

"apa yang salah?"

"kamu peduli hidup aku wildan, ini bukan kaya kamu." aku menatapnya, sebrengsek itukah aku dimata kamu, an? 

"menghargai mereka yang sudah membesarkan kamu. itu penting." ucapku asal, agar tidak terlalu kentara sebenarnya alasanku hanyalah untuk tidak meninggalkan dirinya sendirian di hari yang menyakitkan ini.

"kamu pulang duluan aja, aku bawa mobil." aku menatapnya, kemudian segera menekan angka 2 di panggilan, dan muncul nama david disana.

"David, kamu tahu saya dimana kan? segera kesini dan bawa mobil Ana kerumah ya."

"kamu gila ya?!"

"Kamu tahu itu sejak pertama kali Saya menikahi kamu kan?" 

sudah kukatakan bukan? wildan adiatma ini, tidak pantas untuk kamu tantang, Ana.


(un) Happy WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang