TIGA PULUH DUA

21.9K 1K 11
                                    


H-18

Araf terdiam menatap wajah Wildan yang semakin hari semakin terlihat kurus. Wildan masih terbaring lemas di ranjangnya, sedikit mengerutkan dahinya seperti menahan sakit.

"Apa perlu Aku panggilkan Yudika?"

"Tidak perlu." Kemudian Araf menghela nafas berat lagi, diliriknya Wildan yang masih mering menahan sakit. Tentu saja, setelah pemeriksaan yang begitu banyak, Wildan nampak kelelahan dan harus dirawat inap di ruang khusus VIP disini.

"Raf..."

"Ya?"

"Ana tidak tahu kan?" sekarang Wildan membuka matanya dan menatap lemas ke araf menunggu jawabannya.

"Tidak, Dan." Kemudian, Wildan menghela nafas lega saat mendengar jawaban dari Araf.

Tidak beberapa lama kemudian, Yudika masuk ke dalam ruangan dan langsung menatap serius ke arah Araf,

"Araf ada yang ingin Aku tanyakan padamu, ayo sebentar kita keluar." Saat Araf ingin berdiri dan mengikuti Yudika, Wildan tiba-tiba berkata

"Tidak usah menyembunyikan apa pun lagi dariku Yudika. Hidupku sudah menyakitkan, jangan buat itu lebih banyak rahasia lagi." Yudika kemudian diam saat Wildan mengatakan itu sambil terbaring lemah diranjangnya. Yudika berbalik arah dan akhirnya mengambil kursi dan ikut duduk di sebelah Araf.

"Apa hasilnya?" Wildan tidak suka basa-basi, itulah sifatnya dari dulu yang Yudika tau. Araf menatap ke arah Yudika dengan cemas.

"Wildan, sekarang Aku adalah doktermu dan kamu adalah pasienku, aku punya hak untuk menjelaskannya kepada orangtuamu terlebih dahulu, kamu tidak sendirian, masih ada walimu yang masih hidup."

"Tidak. Aku tidak menganggapnya seorang Ayah. Bicara saja denganku dan Araf."

"Tapi Wildan masalahnya sekarang adalah Beno sudah berada di luar ruanganmu." Wildan menatap tajam ke arah Araf. Terlihat jelas ia tidak menyukai nama Ayahnya itu disebut di hadapannya.

"Aku tidak akan memberitahumu sebelum Beno tahu tentang ini. Kau istirahat saja." Yudika kemudian berdiri dan pergi meninggalkan ruangan. Wildan ingin menyuruh Beno untuk pergi dari rumah sakit ini tapi ia tidak punya cukup tenaga untuk itu.

"Wildan, bagaimanapun dia tidak salah. Kau tahu kan bukan Ayahmu yang membuat kecelakaan itu terjadi.."

"Apa katamu? Bukan dia penyebabnya?!" Wildan mengepalkan jarinya hingga meninggalkan bercak merah disana. Araf yang melihat hal itu hatinya meringis, begitu banyak sakit yang diderita oleh sahabat yang ada di depannya ini.

"jika dia tidak menyuruh supir brengsek itu dengan cepat menjemputnya di kantor, maka hal ini tidak akan terjadi,

"Jika saja dia supir itu bukan milik dari perusahaannya, semua ini tidak akan terjadi!" Wildan berteriak, ini pertama kalinya ia kembali mengeluarkan emosinya yang meledak sejak beberapa minggu ini.

"Wildan, kejadian itu murni dari kecelakaan! Kita tidak bisa menyalahkan Beno untuk hal itu!"

"Brengsek, jangan sebut namanya didepanku." Sedetik kemudian Wildan melemparkan vas bunga yang ada di sebelahnya. Wildan membuangnya ke lantai dan berhasil membuat perawat dan bodyguardnya memasuki ruangan, termasuk juga David.

"Kau tahu Wildan? Sifatmu yang tidak bisa memaafkan masa lalu inilah yang membuat orang-orang terdekatmu perlahan pergi meninggalkanmu."

Araf keluar pergi ke luar ruangan setelah menyuruh beberapa perawat untuk membereskan pecahan kaca dari vas bunga yang ada di lantai. Sekarang Wildan hanya perlu berpikir dan mencuci otaknya tentang semua kejadian ini.

(un) Happy WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang