TIGA PULUH TIGA

19.1K 934 9
                                    


Ana menunggu di luar ruangan kerja Arza, ia sudah menunggu selama setengah jam tapi Arza tak kunjung pulang ke ruangannya. Saat ana menanyakan kepada sekretarisnya yang berada di luar, sekretarisnya menjawab dengan ketus Arza sedang rapat dengan perusahaan lain.

Saat Ana ingin pergi dari lorong ruang kerja Arza, saat itu juga pintu lift terbuka dan berdirilah Arza disana. Saat Arza menegakkan kepalanya dan melihat Ana yang berada di ujung ruangan, ekspresinya berubah dingin.

"Ada apa nyonya Adiatma? Masih tertarik dengan permainan kita?" Arza berbisik di telinganya dan menunggu jawaban Ana.

"Aku sudah tau semuanya." Kemudian Arza terdiam, yang awalnya tersenyum sinis sekarang ekspresinya benar-benar berubah datar tidak senyum sama sekali. Kemudian dengan ketus ia berkata,

"untuk apa kau datang kesini?"

"Aku butuh penjelasan darimu." Arza menatap sekretaris cantiknya untuk segera angkat kaki dari lorong ruang kerjanya. Sekretarisnya yang tau dengan sinyal yang diberikan Arza segera berjalan pergi masuk ke dalam lift.

Arza meninggalkan Ana yang berdiri di lorong sendirian, ia berjalan masuk ke dalam ruang kerjanya dan membiarkan pintu besar itu terbuka, seperti memberitahu kepada Ana untuk ikut masuk ke dalam dan berbicara dengannya disana. Ana kemudian berjalan diam memasuki ruangan dan masih berdiri di dekat pintu.

"Jadi bagaimana? sudah berniat untuk meninggalkan laki-laki brengsek itu?" ana mengerutkan dahinya, arza langsung berbicara to the point.

"Bukan itu yang ingin Aku bicarakan sekarang." Kemudian Ana berjalan mendekati Arza yang duduk di kursi kerjanya dan memberikan foto Arza dengan Wildan di depan Arza.

"jelaskan padaku, apa hubunganmu dengan Wildan?" Arza menatap foto itu datar dan yang Ana lihat, Arza tanpa sadar mengepalkan kedua tangannya.

"Apa kamu terlalu bodoh, Ana? Wajar saja Wildan tidak pernah mau memberitahu tentang masalah ini."

"Apa maksudmu?"

"Apa kau pikir selama 6 tahun belakangan ini tidurmu begitu nyenyak?" Arza kali ini langsung menatap kedua mata Ana tajam. Tatapan itu tersirat sakit yang begitu dalam.

"Ana Baskara, pada akhirnya kita bertiga terikat dengan masalah yang sama," sekarang Arza berdiri dan berjalan mendekati Ana dan kemudian berhenti tepat di depannya. Arza mengangkat dagu Ana mengadah ke wajahnya yang lebih tinggi dari Ana, ia menatap Ana begitu dalam.

"Apa yang membuat Wildan begitu melindungimu sejak 6 tahun lalu?" Ana terdiam kaku. Tubuhnya sama sekali tidak bisa bergerak dari hadapan Arza yang sosoknya berdiri gagah di depannya.

Arza kemudian mempendek jarak diantara mereka dengan mendekatkan wajahnya di depan Ana. Menyamakan posisi sehingga wajah Arza sekarang tepat sejajar dengan Ana.

"Apakah bibir ini?" jemari arza beralih dari dagu Ana menuju bibirnya, mengusapnya perlahan disana.

"Ataukah tubuhmu?" kemudian tangan kiri Arza tiba-tiba sudah berada di pinggang Ana, sedangkan tangan kanannya masih memegang bibirnya. Perlahan saat Arza mendekati leher jenjang Ana, saat itu juga tangan Ana bereaksi dan menampar wajah Arza tepat di pipi kanannya.

"Kau pikir dirimu pantas berdiri didepanku saat Ayahmu sudah membunuh kedua orangtuaku?!" Ana berteriak dan menatap tajam Arza yang hanya berdiri sambil menatap Ana dengan wajah dinginnya.

"lucu sekali perkataanmu. Apa kau pikir orangtuaku berbeda dari orangtuamu?! Adiatma brengsek itu pembunuh!"

"Apa kau lupa? Kau tidak jauh beda Arza, Kartadimadja adalah pembunuh ibuku." Kemudian disaat Ana berpikir Arza akan menamparnya, ternyata Arza memeluk tubuhnya dengan erat.

"Apa yang kau lakukan?!"

"Ana..." 

suara Arza begitu serak dan pelan tepat di telinga kanan Ana. Tiba-tiba Ana merasakan sesuatu yang di tempelkan tepat dipunggungnya. Mendengar suaranya Ana tahu, pada akhirnya akan jadi seperti ini.

"Apa yang harus kita lakukan? Kita sama-sama terjebak." suara Arza bergetar. Ana memejamkan kedua matanya. Ia tahu Arza begitu jahat terhadap dirinya dan Wildan, tapi mengapa suara Arza begitu terdengar menyakitkan?

"Haruskah kita akhiri saja permainan ini, Ana?"

Maafkan Aku wildan

dan saat itu juga, air mata Ana jatuh bersamaan dengan bunyi pelatuk pistol yang ditembakkan dari belakang punggungnya.

***

(un) Happy WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang