DUA PULUH EMPAT

21.3K 1K 4
                                    

Laki-laki itu berjalan pelan dengan setangkai bunga mawar putih di tangannya mendekati batu nisan yang tidak jauh dari gerbang depan. Laki-laki itu berdiri dan diam cukup lama, sampai akhirnya ia melemparkan bunga mawar putih itu ke arah batu nisan di depannya.

"Jangan pikir Aku senang mengunjungimu," Arza menatap batu nisan bertuliskan Kartadimadja Putra Ambarawa. Ia meringis saat membaca tulisan itu. Pikirannya mulai mengingat kejadian bertahun-tahun lalu.

"Dengarkan Aku Arza, waktuku tidak banyak dan Aku harus menjelaskan ini secara singkat kepadamu."

"Kau pikir aku akan mendengarkan kata-kata yang keluar dari mulut pembunuh sepertimu? Tidak akan!"

"Arza..."

"Brengsek, jangan berani memanggil namaku lagi, Kau bukanlah Ayahku!"

"Arza, percayalah denganku, setelah ini kau harus pergi dari sini. Masuk ke dalam ruang kerjaku dan buka lacinya, disana sudah ada paspor dan alamat bibimu yang ada di London. Menetaplah disana untuk sementara."

"Apa kau pikir aku akan mempercayaimu setelah kau sudah membunuh ibu? Brengsek sekali mulutmu menyuruhku untuk mempercayai kata-katamu sekarang!"

"Nanti, saat waktunya tepat, pulanglah dan hidup sukses dengan perusahaanmu sendiri..."

kemudian Kartadimadja mulai terlihat sesak nafas, Arza yang melihat Ayahnya yang paling ia benci di dunia ini hanya bisa diam, hatinya ragu apakah ia benar-benar harus memanggil dokter atau tidak. seperti memilih antara ingin membiarkannya hidup atau membunuhnya saja.

"Bukan Aku yang membunuh ibumu, Arza..."

"Merekalah yang sudah menghancurkan Aku dan ibumu..."

"Apa maksudmu..?"

"Hancurkan seluruh keluarga Atmaja, balaskan dendamku dan ibumu kepada mereka."

Arza masih berdiri menatap kosong ke arah batu nisan yang ada di depannya. Ia sama sekali tidak tahu dengan perasannya sekarang, ia masih tidak bisa tersenyum saat mengunjungi Ayahnya seperti ini.

"Kau bilang Aku harus menghancurkan mereka.." Arza perlahan memegang batu nisan itu,

"Kau bilang mereka yang sudah menghancurkan ibu..." Arza terduduk pelan di sebelah nisan Ayahnya, masih menatap kosong ke arah tulisan yang tertera di sana.

"Sejenak, Aku berpikir dirimu bukan pembunuh. Tapi kenapa..."

"Kenapa kau membunuhnya?" Arza masih terduduk diam, seolah-olah ia benar-benar bicara dengan wujud Ayahnya di depannya. Teringat lagi kata-kata yang diucapkan Wildan kepadanya beberapa minggu yang lalu.

"Kartadimadja, Ayahmu lah yang sudah membunuh kedua orang tua perempuan itu, brengsek!"

"Kau membunuh mereka..."

Kemudian airmata Arza jatuh untuk pertama kalinya di depan batu nisan Ayahnya. Itu adalah tangisannya yang pertama sejak 12 tahun lalu, saat Ayahnya pergi meninggalkannya sendirian. Pada saat Kartadimadja menutup matanya untuk yang terakhir kali pun, Arza sama sekali tidak menangis.

"Brengsek, kenapa kau membunuhnya Kartadimadja!!!"

Merekalah yang sudah menghancurkan Aku dan ibumu...

"Kenapa..."

Hancurkan seluruh keluarga Atmaja, balaskan dendamku dan ibumu kepada mereka.

"Kenapa kau membunuhnya, Ayah, tidak bisakah kau bangun dan menjelaskan semuanya padaku?"

***

(un) Happy WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang