ENAM BELAS

24.2K 1.1K 5
                                    

"Mba, Bapak nggak pulang dari subuh?" pembohong. Ana tahu Wildan sama sekali tidak kembali saat pergi dari rumah ini sejak kejadian beberapa malam sebelumnya. Setelah terjadi kejadian 'aneh' itu dia langsung melarikan diri dan meninggalkan Ana sendirian. Sudah brengsek, pecundang, lalu apa lagi julukan yang tepat untuk laki-laki itu?

"Nggak ada, Bu. Dari subuh Saya datang kerumah, mobil Bapak nggak ada di depan." Setelah Ana mengangguk dan meminta Mba Erna untuk membuatkan sarapan, Ana segera mengecek ponselnya. Ana tertawa dalam hati, sebenarnya apa yang Aku harapkan? Wildan berubah dan mencintaiku? Sama saja artinya dengan Aku membunuh diriku sendiri.

Anamenatap kosong ke luar jendela, kejadian malam tadi benar-benar tidak bisa hilang dari pikiranya. Tangisan Wildan, pelukannya, suaranya, dan...

Astaga ini masih pagi tapi pikirannya sudah terkontaminasi oleh hal-hal yang mengerikan itu. kondisiku sudah buruk begini dengan mata bengkak seperti ini dan Aku masih memikirkan manusia brengsek itu?

"Bu.. Bu? Buk Ana??" Ana tersadar saat mendengar teriakan namanya dari Bik Erna.

"Ya kenapa Mba?"

"Ibu sakit ya? Mukanya merah dan panas, Saya ambilin obat ya bu." Ana tidak menjawab dan kembali menatap ke luar jendela. Tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi pada dirinya.

Ana beranjak dari sofa dan segera bersiap-siap pergi. Anatidak tahan lagi dengan semua ini, setelah kejadian malam tadi, ia tidak bisa lagi memaafkan ini. Segera Ana mengambil kunci mobil dan keluar menuju garasi, tidak Ana pedulikan teriakan Mba Erna yang memanggilnya dari dalam rumah.

Aku harus tau alasan yang sebenarnya dari mulut brengsek itu.

***

Ana berjalan cepat memasuki lift dan langsung menekan tombol yang ada di sana. Setelah pintu lift terbuka, ia menuju pintu besar di ujung lorong dan mendobraknya. Tidak ada siapa-siapa, Wildan tidak ada di ruangannya. Biasanya setelah Ana mendobrak pintu mahal itu terdengar suara dengan nada marah dari dalam.

Sekarang, bagaimana lagi aku harus menemukan keberadaannya dan meminta penjelasan atas sikapnya yang pecundang itu?

"Bu Ana?" Ana menoleh ke belakang dan melihat David sudah berdiri di sana. Menatap Ana dengan kedua matanya yang tidak percaya kehadiran Ana.

"Dimana Wildan, David?" David yang biasanya bicara langsung menatap kedua mata Ana, sekarang hanya menunduk, tidak berani langsung menatap ke arah matanya.

"..."

"David Saya tanya, Wildan sekarang ada dimana?"

"Pergi pertemuan dengan perusahaan asing di Cina, Bu. Beliau sejak kemarin malam berangkat." Ana menatap langsung ke arah David mencari sesuatu di sorotan matanya apakah dia berbohong atau tidak. David adalah seseorang yang maskulin, matanya tidak bergerak sama sekali dari Ana tidak menoleh ke arah mana pun.

"Sendirian?"

"Ya, Bu. Saya bisa menelepon Pak Wildan jika Ibu mau."

"Tidak usah, David bisakah kamu membiarkan Saya sendiri di ruangan ini?" David terlihat ragu, tidak mempercayai Ana akan baik-baik saja di ruangan kerja Wildan ini.

"Aku hanya akan duduk sebentar lalu pergi, David." David kemudian menunduk lalu menegakkan kembali kepalanya dan segera keluar dari ruangan. Dalam hati Anamerasa lega, David tidak mencurigainya.

Ruang kerja Wildan adalah satu-satunya ruangan yang tersimpan dokumen-dokumen pribadi Wildan. Wildan bukanlah tipe orang yang sembarang jika dalam urusan dokumen pribadi. Ia tidak akan mungkin meletakkan hal itu di sembarang tempat.

Ana berdiri di tengah-tengah ruangan dan matanya mulai mengitari seluruh ruangan untuk mendeteksi dimana instingnya merasa janggal. Mata Ana berhenti saat melihat laci meja kerja Wildan yang sedikit terbuka, oke itu patut untuk dicurigai.

Ana membuka laci itu dengan pelan, Anatahu David pasti masih berjaga di depan pintu. David bukanlah tipe yang akan pergi sebelum semuanya benar-benar aman. Laci itu kemudian berhasil Anatarik dan terlihat beberapa tumpukan kontrak perusahaan penting di sana. Tangannya berhenti saat melihat cincin kecil yang terletak di sudut laci itu.

"Dasar pembohong." Ana masih teringat apa yang dikatakan Wildan saat ia memberikan cincin ini kepadanya.

"Pakai cincin ini jika sedang ada acara perusahaan dan di depan orang tuaku. Selain itu, terserah kamu saja."

"Bagaimana denganmu? Tidak mungkin hanya Aku yang memakai ini." Ucapku sambil menunjukkan cincin yang ada berlian ditengahnya. Ini terlalu cantik...

"Bukan urusanmu, urus saja urusanmu sendiri."

"Apa kamu akan memakainya terus?"

"Tenang saja, Saya akan dengan senang hati membuangnya."

Ana menghela nafas berat, semua kenangan yang ada hanyalah kenangan pahit dan hal itu makin membuat kepalanya pusing saat mengingatnya. Saat menatapi cincin itu, terlihat ujung kertas foto yang terselip di antara tumpukan map-map.

Saat Ana menarik foto itu, tampaklah dua orang laki-laki yang sedang tersenyum sambil menatap ke arah kamera.

"Wildan.."

"Arza....?"

***



(un) Happy WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang