TIGA PULUH SATU

19.5K 911 17
                                    


H-20

Arza memperhatikan foto yang ada ditangannya, menatap kearah dua orang yang sedang tersenyum di foto itu. pikirannya kemudian dirasuki oleh emosi itu lagi. persis seperti dulu

12 tahun lalu,

"Woy, Dan cepet sini!!" Arza meneriaki nama Wildan yang berada jauh darinya yang sedang dikerubungi oleh teman-teman perempuan Wildan yang tidak henti-hentinya memberikan ucapan selamat kepada Wildan.

"Thanks God, you save me again." Wildan tertawa saat melihat kebelakang, perempuan-perempuan itu tidak henti-hentinya mendekatinya dan lagi-lagi kali ini Arza menyelamatkan mereka.

"Sialan, kita ini sama-sama wisuda tapi yang dikerubungi perempuan cuma Lo doang!" Arza kemudian menjitak ubun-ubun Wildan dengan keras sambil tertawa.

"Apa sekarang Aku harus menyalahkan wajahku juga?" kemudian mereka sama-sama tertawa.

"sekarang gue mau foto sama calon direktur sukses dulu, ayo sini!" kemudian Arza meminta tolong kepada salah satu teman mereka yang kebetulan sedang dekat posisinya dengan Wildan dan Arza.

"Jangan pasang wajah datar, awas aja lo!"

"Jadi Aku harus bagaimana, Za?"

"Ayo bilang cheese"

Crek.

Saat Wildan dan Arza sedang asyik berfoto, tiba-tiba ponsel Arza berbunyi dan muncul nama Ayahnya disana 'Kartadimadja'.

"Halo, Ayah?"

"Arza..." suara Ayahnya lemas dan terisak menangis.

"Ayah ada apa?!"

"Pulanglah, Ibumu-" saat Ayahnya belum selesai menyelesaikan kata-katanya, Arza langsung mematikan sambungan telepon dan berlari menuju lapangan parkir.

"Arza!" Wildan yang tidak tahu apa yang terjadi melihat Arza berlalu begitu saja melaju cepat dengan mobilnya menuju jalan raya.

Sesampainya dirumah, Arza berlari masuk ke dalam rumah sampai akhirnya tubuhnya berhenti saat didalam rumahnya sudah ramai dipenuhi dengan orang-orang yang berpakaian serba hitam.

"A..Ayah.. apa maksud dari semua ini?"

"Arza, maafkan Ayah..." Arza yang melihat Ayahnya memeluk Wildan dengan erat dan menangis sambil memeluk tubuh Anaknya.

"Apa maksudmu, Kartadimadja! Ada apa ini?!"

"Ibumu meninggal, Za. Kecelakaan saat ia ingin berangkat ke acara wisudamu."

"me..meninggal?" kemudian Arza tersungkur, tidak bisa mengendalikan keseimbangan tubuhnya. Seketika pikirannya kosong, selama ia hidup ia tidak pernah merasa sehampa ini.

"Pelakunya kabur, Aku akan mengurus hal ini. Aku akan membalas semuanya." Kartadimadja mengepalkan kedua tangannya. Saat itulah untuk pertama kalinya Arza melihat tatapan Ayahnya yang detik itu juga siap untuk membunuh siapa pun yang membunuh istrinya.

Semenjak kejadian itu, Arza menghilang dari kehidupannya yang ada di Jakarta. Beberapa tahun kemudian Arza mengalami hal buruk itu lagi, Ayahnya bunuh diri dengan cara menusukkan pisau tepat di bagian dadanya sendiri. Saat detik-detik terakhirnya, saat itulah Kartadimadja mengatakan hal yang sebenarnya, keluarga Wildanlah yang membunuh ibunya. 

Salah seorang supir keluarga Adiatma tak sengaja melaju mobil dengan kencang dan tidak bisa mengerem pada saat itu dan berhasil membuat ibunya tewas seketika, Keluarga Adiatma yang membuat pikiran Ayahnya hancur dan akhirnya memilih untuk bunuh diri.

Arza memejamkan matanya dan memutar kursinya menghadap jendela besar ruang kerjanya. Kemudian ia membuka matanya, melihat langit hari ini yang sepertinya mengerti bagaimana keadaannya sekarang. Langit menampakkan awan gelapnya, tak lama kemudian hujan turun. Arza masih menatap keluar jendela, memperhatikan rintik hujan yang turun dengan sangat deras.

Arza kemudian memejamkan matanya lagi, masih sangat kuat ingatannya dengan ibunya yang selalu tersenyum kepadanya, memeluknya saat menang dalam kompetisi yang ia ikuti di kampus, berteriak heboh saat ia memberitahu pada ibunya ia mendapatkan beasiswa di London. Masih ingat sekali, saat kedua orangtuanya begitu saling menyayangi dan Arza merasa adalah anak yang paling bahagia di muka bumi ini.

Kemudian ingatan itu juga begitu kuat mengingatkannya saat ia melihat wajah ibunya yang pucat tak berkutik saat memandikan mayatnya, begitu menyakitkan saat Ayahnya mabuk setiap hari tanpa henti setelah ibunya meninggalkan dunia ini, begitu menyakitkan saat ia melihat Ayahnya bunuh diri tepat di depan matanya sendiri.

Kemudian Arza membuka kedua matanya, sudah begitu lama ia tidak merasakan perasaannya yang seperti ini,

"Apakah sekarang saat yang tepat untuk menyusul kalian, Yah, Bu?" 

kemudian Arza menatap ke arah langit diluar jendelanya, menangis bersama hujan yang ikut serta memahami apa yang ia rasakan saat ini. 

***

(un) Happy WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang