EMPAT BELAS

25.5K 1.2K 1
                                    

Wina menatap ke langit-langit kamar tidurnya, sudah lewat tengah malam dan ia sama sekali tidak tidur. Ini bukan karena kehamilannya. Sudah beberapa hari setelah menemani Ana belanja, dirinya sama sekali tidak tenang.

"Tidak bisa tidur lagi ya, Win? Mual?" mual adalah alasan yang selalu Wina katakan kepada Araf jika ia tidak tenang dan tidak bisa tidur, seperti sekarang ini.

"Raf, i want to tell you something." Nada Wina seperti menggantung diujung kalimatnya dan terlihat ragu untuk memberitahu Araf atau tidak.

"Ada apa?"

"Dia kembali, Raf..." Wina menatap kedua mata Araf dengan ketakutan dan gelisah, takut ia salah bicara.

"..."

"Arza Kartadimadja, dia kembali." Wina memegang kedua tangan Araf erat, berharap Araf tidak marah mendengar nama yang Wina sebut barusan.

"Kamu tahu dari mana?"

"Ana.. Ana yang kasih kartu namanya ke Aku."

"Ana?!" kali ini nada Araf meninggi, tidak percaya dengan kata-kata Wina barusan.

"Ana sudah bertemu dengan laki-laki itu, Raf. Mereka nggak sengaja ketemu waktu di club. Ana nggak sengaja buat baju laki-laki itu basah, terus Ana disuruh menemui dia kemarin di kantornya."

"Ana pergi ke kantornya? Sendirian?! Kenapa kamu tidak beritahu Aku, Wina? Kamu tau laki-laki itu.." Araf menghentikan kata-katanya dan tidak sanggup untuk melanjutkannya kembali. Ketika ia melihat Wina yang sudah bergetar ketakutan saat Araf meninggikan nada bicaranya, Araf memeluk Wina untuk menenangkannya.

"Maafkan Aku, Wina. Aku seharusnya tidak berteriak di depanmu dan anak kita." Wina membalas pelukan Araf dengan melingkarkan lengannya ke leher Araf.

"Aku harusnya kasih tahu kamu, Aku harusnya melarang Ana pergi ke sana, ini salah Aku, aku yang salah." "Tidak, Wina. Ini bukan kesalahan siapa-siapa, kita tidak tahu laki-laki itu akan datang kembali."

Wina kemudian menangis dan Araf mengusap punggung Wina pelan, berusaha menghentikan tangisannya. Araf tahu Wina pasti tertekan untuk memberitahunya atau tidak tentang ini, ia tahu Wina pasti takut akan kejadian yang menyakitkan itu terjadi lagi.

"Apa kamu memberitahu Ana, Win?"

"Nggak, Aku nggak kasih tahu Ana. Kamu tahu Ana tidak boleh tahu akan hal ini, Raf. Kamu ingat akan permintaan Om Baskara kan?" Araf hanya menjawab pertanyaan Wina dengan senyuman.

Setelah akhirnya Araf berhasil menenangkan Wina, beberapa menit kemudian Wina jatuh tertidur. Araf yang sudah memastikan Wina dalam keadaan baik-baik saja, langsung menuju keluar kamar. Kemudian terdengar suara ponsel Araf tanda panggilan masuk.

"Ada apa David?"

Beberapa detik kemudian akhirnya Araf sudah masuk ke dalam mobil dan segera keluar dari rumahnya. Araf tahu, semenjak laki-laki itu kembali, keadaan akan menjadi seperti ini.

Kacau.

***


Flashback

"Wildan, Ayah harap kamu bisa bijak atas semua masalah ini. Kamu tahu ini bukan perkara yang mudah." Beno Adiatma menatap anaknya, Wildan, dengan penuh harap.

"Ini gila, Ayah. Aku tidak bisa mengambil keputusan apa pun." Wildan kemudian berdiri dari tempat duduknya. Ruangan kantornya seketika menjadi sesak. Apa yang dikatakan Ayahnya membuatnya tidak bisa memikirkan apapun.

"Hanya ini satu-satunya jalan Wildan, menikahi dia adalah keputusan yang tepat."

"Ayah, Bagaimana bisa tiba-tiba Aku menikahinya dengan kondisi saat ini?" Wildan mulai meninggikan suaranya. Ide gila seperti ini sama sekali tidak bisa ia terima. Menikah? Itu bukanlah jalan keluar dari semua masalah ini.

"Wildan, Kamu tau hidup Baskara sedang terancam sekarang dan Ayah harus membantunya. Keluarga kita tidak bisa hidup jika bukan karena Baskara."

Kemudian ponsel Beno berdering, tanda panggilan masuk. Muncul nama 'David' disana, asisten pribadinya.

"Ada apa David?" ekspresi wajah Beno yang semula tenang sekarang berubah menjadi ketakutan. Itu terlihat dari matanya yang membesar dan keringat dinginnya di pelipis.

"Ada apa, Ayah?"

"Wildan, kamu harus menikahi Ana. Kamu harus melakukannya sekarang juga."

"Apa maksudmu?"

"Baskara masuk rumah sakit dan sekarang sekarat. Ana juga sedang dirawat karena pingsan melihat ayahnya, kita harus ke sana sekarang." Wildan hanya diam, tidak menjawab apapun yang dikatakan Beno.

"Tidak ada jalan lain Wildan, nikahi Ana untuk kebaikan kita semua."

Ingatan itu muncul melintas di pikiran Wildan. Semua kenangan pahit yang ia tidak ingin ingat kembali bermunculan. Sedetik kemudian wildan hilang kendali saat mengendarai mobilnya. Mobil wildan menabrak pohon besar di tepi jalan dan membuat kepalanya terbentur dengan kaca yang ada di depannya.

Disaat kepalanya penuh darah, wildan menangis sekencang-kencangnya di dalam mobilnya yang sudah hancur. Luka lama yang sudah ia pendam bertahun-tahun. Luka lama yang membuat hidupnya dipenuhi akan beban berat yang harus ia tanggung sendirian.

Wildan kemudian berteriak dan menangis. Melakukan dua hal itu berulang dan berulang kali. Ia sudah hidup dengan penuh penderitaan dan akhirnya hampir berhasil berdamai dengan semuanya. Semua hal itu seketika sirna dengan kedatangan laki-laki brengsek yang masuk kembali kedalam kehidupannya.

Arza Kartadimadja, anak dari Hari Kartadimadja yang sudah membuat seluruh masalah ini muncul. brengsek itu akhirnya kembali setelah beberapa tahun. Wildan tidak bisa mempercayai semua hal ini bisa terjadi. Ia tidak ingin mengalami luka lama itu lagi.

Tiba-tiba tubuh Wildan lemas dan penglihatannya mulai buram. Wildan berusaha menggapai ponselnya yang ada di dashboard mobilnya dan segera menekan tombol '2' disana. Setelah telepon itu tersambung,

belum sempat Wildan mengucapkan apa pun kemudian semuanya menjadi gelap.

***

(un) Happy WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang