Ana menggeliat, sinar matahari yang masuk ke dalam celah-celah jendela kamar membangunkan tidurnya. Mata Ana perlahan terbuka dan melihat keadaan sekitar. ah, ternyata di kamarku. Terakhir seingat Ana, dirinya tertidur di ruang tamu setelah mengurus Wildan yang begitu merepotkan dengan segala kebiasaan minumnya.
Setelah merasa baikan, Ana berdiri dan berjalan menuju dapur. Ternyata Mba Erna, asisten rumah Wildan sedang membersihkan dapur.
"Eh, Bu sudah bangun? mau sarapan?" Ana melihat meja makan, tidak ada jejak seseorang makan disana.
"Bapak sudah berangkat dari jam 7 pagi, Bu." jawab Mba Erna seolah-olah tau apa yang ingin ditanyakan Ana.
"Kenapa Mba, kok senyum-senyum liat aku?" tanya Ana sambil menyenderkan punggungnya ke kursi meja makan.
"Eh keliatan ya? itu loh Bu, suka seneng saya ngeliat Bapak kalo lagi sama Ibu."
"Maksudnya?"
"Tadi subuh, saya udah mau bangunin Ibu kan soalnya kasian toh kalo tidur di sofa bisa sakit. tiba-tiba bapak datang dari arah belakang dan bilang 'mba jangan dibangunin, biar saya saja' gitu" Ana menaikkan alisnya sambil minum jus apel yang dibuat Mba Erna.
"Beneran digendong loh Bu, sampe kamar. Suka gemes kalo Bapak natap Ibu, sayangnya itu loh kelihatan dari matanya." Ana hampir tersedak, sayang? kata-kata macam apa itu.
Ana hanya tersenyum sopan, tidak terlalu peduli dengan sikap manis Wildan yang tidak mau membangunkan tidur paginya. Lagipula wildan tidak pernah menganggap Ana sebagi istrinya begitu juga sebaliknya dengan Ana.
"Tadi sarapan ngga dia, Mba?"
"Udah saya tawarin Bu, mau kopi atau roti. eh si Bapak bilang katanya kalo khusus sarapan sekarang ga boleh dibuatin sama orang lain." Ana terdiam, terngiang waktu itu minggu-minggu awal dirinya pertama kali hidup dirumah ini bersama Wildan.
"Sebelum Saya berangkat kerja, siapkan kopi. can you?" Tanya Wildan sambil bersiap-siap berangkat dan memperbaiki dasinya. Ana menatapnya kesal.
"Bukannya ada Mba Erna? kenapa harus Aku?"
"Kamu tidak mau?" Tanya Wildan dengan mata yang mengintimidasi, sialnya Ana mengelak dan tidak berani untuk menjawab tidak.
"Let me try."
"Apa?"
"your coffe, sebelum Saya berangkat." Wildan duduk di meja makan sambil memainkan ponsel, Ana kemudian berdiri kesal dan mulai membuat kopi yang tersedia di bilik dapur. setelah selesai, Ana menaruhnya di depan Wildan, sengaja untuk mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel. Wildan mematikan ponselnya dan mencoba kopi yang dibuat Ana. Wajahnya mengerut.
"Aku udah bilang biar Mba Erna aja yang buatin, lebih enak."
"Mulai sekarang kamu yang buat."
"tapi wajah kamu bilang kopinya ga enak."
"Ini karena panas, bukan karena tidak enak."
Ana hanya tersenyum sekilas mengingat kejadian itu, perlakuan seperti ini tidak akan membuat dirinya lengah untuk tetap marah kepada Wildan.
***
Baru lewat satu jam sejak bercerita lucu dengan Mba Erna sembari sarapan. Ana masih saja gelisah, entah mengapa kepikiran Wildan yang meninggalkan rumah tanpa sarapan dan kopi-nya. ah sudahlah, semua sarapan itu bisa dibeli.
Tiba-tiba ponsel Ana bergetar tanda panggilan masuk, tertulis David disana.
"Halo?"
Apa yang Ana takutkan terjadi. Setelah mendapat telepon barusan, Ana segera menancapkan gas mobil menuju rumah sakit. Tenangkan dirimu Ana.. tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja. bersikaplah normal seperti biasa.
Sesampainya di rumah sakit yang pertama terlihat adalah David yang sedang berdiri di depan pintu.
"David! mana Wildan?"
suara Ana sangat pelan dan bergetar. Ana sangat membenci rumah sakit dan Wildan tahu seberapa kencangnya ia menangis saat Papanya meninggal di rumah sakit ini. Wildan sudah tahu Ana membenci aroma obat dan dinding serba putih. Tapi sekarang Wildanlah yang membuat Ana datang ke tempat seperti ini lagi.
David membukakan pintu kamar. Tertera disana ruangan VVIP tanda ruangan ini di dalamnya orang yang dirawat benar-benar orang penting. Tubuh Wildan terbaring disana, ditemani dengan selang infus yang berada di telapak tangan Wildan. Ana masih berdiri diam, menatapnya dengan jarak jauh dari pintu.
"Kenapa kamu disini?" itu suara Wildan, Ya Ana yakin itu benar-benar suaranya yang berat dan serak itu.
"Jika hanya ingin menangis, pulang saja. Mau sampai kapan berdiri disana kamu?"
"Aku udah bilang benci rumah sakit, kan?"
Wildan terdiam, masih menatap Ana yang menundukkan kepala di sisi ranjangnya. Ana melihat jarum infus yang ada di tangan Wildan, kemudian berlanjut menelusuri ke wajahnya, sedikit bengkak di bagian matanya, mungkin itu karena ia selalu bekerja sampai membuat kondisinya seperti ini.
"David yang menelfon kamu?" Ana mengangguk, tidak berani menatap kedua mata Wildan.
"Ini sepele, seharusnya kamu tidak usah datang." ucap Wildan dingin.
"Sepele katamu? aku nggak suka kamu disini. Aku nggak suka rumah sakit." Ana meringis menahan kebenciannya terhadap ruangan serba putih ini. Dirinya merasa mual, terlalu banyak kenangan buruk yang melintas di kepalanya. Wildan tiba-tiba mencabut jarum infus dari tangannya dan berjalan pelan keluar ruangan sambil memanggil David.
"Wildan, kenapa dilepas?!" teriak Ana. Wildan hanya menatapnya sekilas dan berbicara dengan David.
"Wildan, kamu mau kemana?"
"Banyak kerjaan yang tinggal kalo tetap disini."
"Kamu masih mentingin kerja dengan kondisi kaya gini? kamu mau kembali ke kantor?" teriak Ana meringis memperhatikan Wildan yang pucat dan berjalan lemas.
"Bukan ke kantor, tapi ke rumah. Kamu tidak suka disini kan?" Ana terdiam, rumah?
"Kerjaan kamu?"
"Saya butuh kopi kamu, baru bisa kerja. Remember?"
Ana tersenyum. Perasaan hangat itu datang lagi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
(un) Happy Wedding
Romancefollow dulu apabila ingin membaca! Happy Reading! "Aku membencinya, dimulai dari perkenalan yang luar biasa tidak terduga. Aku benci sifatnya yang egois. Aku begitu membenci laki-laki itu hingga membuat Aku tidak bisa menjauh dari dirinya.." - Ana...