Hujan turun sangat deras malam ini, sendu menyelimuti kota jakarta yang semakin malam semakin sibuk. Namun, Wildan menyukai cuaca seperti ini. Cuaca yang membuatnya bergelut dengan pikirannya sendiri.
Wildan melepaskan kacamatanya. Pekerjaan hari ini cukup banyak, terlebih dengan kondisinya yang baru saja keluar dari rumah sakit tanpa istirahat yang cukup. Salahkan perilakunya yang suka menantang adrenalin, pemicunya tentu saja sosok perempuan yang ia amati di bingkai kaca di atas mejanya. Berbalut pakaian serba hitam dan hanya tersenyum sendu sambil memeluk batu nisan disebelahnya.
Wildan menghembuskan nafas berat sambil menuangkan Wine hingga setengah dari gelasnya. Ia menatap jendela luas dari lantai sepuluh ruangannya.
"Sudah jam 12, Pak. Saya pikir ada yang menunggu Anda untuk pulang." David masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu, Wildan hanya melirik sekilas tanpa peduli.
Wildan melihat jam tangannya dan benar saja sudah pukul 12 malam, dirinya tidak mau beranjak dari kursinya sekarang. Walaupun ia tahu, ada yang menunggunya.
"Hei David. Menurutmu, apakah dia menunggu saya pulang?"
"Melihat kejadian beberapa hari lalu, ketika Anda melarikan diri dari rumah sakit, saya rasa beliau pasti menunggu."
"Cemas tidak dia?"
"Tergantung Pak, jika Anda pulang lebih dari jam sekarang, mungkin iya." Wildan sekarang meletakkan gelas winenya yang sudah habis.
"Pak, Anda sudah tahu kan apa kata Dokter Yudika soal ini? Anda harus berhenti minum."
"Cukup satu perempuan saja yang harus saya urus soal omelannya, not you too." David tersenyum kecil dan berdiri di sebelah Wildan. Begitulah atasannya, Wildan, kaku namun lugu.
***
Wildan sampai di depan rumah dan memarkirkan mobil perlahan. Sedikit pusing, dan Wildan tahu ini bahaya. biasanya adrenalinnya lebih mudah ditantang dengan keadaan setelah minum. Ketika ia memasuki rumah dengan pakaiannya yang sedikit basah terkena hujan, dan disanalah perempuan itu berdiri dengan wajahnya yang cemas, dan mungkin sedikit marah?
Tanpa berkata apapun Ana berlalu didepan Wildan, tanpa sadar Wildan mencegahnya pergi.
"Apa?" ucapnya marah. Wildan dalam hatinya tersenyum, ternyata tebakan David benar.
"Kamu mau ngomong apa? Aku rasa bukan hakku untuk mengurusimu bukan begitu?" Ana menatap Wildan menelusurinya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mulai memasuki siaga 1, dirinya ditantang lagi oleh perempuan ini.
"Wajahmu tidak berkata demikian, Ana." Wildan maju, memperkecil jarak diantara tubuhnya dan Ana. Ternyata baru Wildan sadari, Ana hanya menggunakan dress hitam selutut dengan tali tipis yang menggantung di kedua bahunya. Apakah ini semacam cobaan?
"Wildan, kamu bisa urus diri kamu sendiri, bukannya itu perjanjian diawal? kita ini bukan menikah nyata, hanya kontrak."
Oke siaga 2.Emosinya mulai terpanggil. Alam bawah sadarnya pun mulai menarik dagu Ana mendekat ke arahnya, dan menciumnya pelan. Ana menjauhkan tubuh Wildan, kaget dengan perilakunya barusan.
"Ana, ini bahaya. Saya pikir kamu harus ke atas sekarang." Wildan menarik tangan Ana menuju ke kamarnya. Alam bawah sadarnya mulai berbisik, masuk siaga 3. Adrenalinnya sudah tidak terkendali, tapi ia tidak bisa menahan nalurinya.
"Wildan, ini-"
"I need you, An." deru nafas Ana dan Wildan sama-sama terdengar di kamar Wildan yang tidak pernah dimasuki oleh siapa pun di rumah ini. Wildan sadar betul kamarnya remang, hanya dihiasi cahaya lampu tidur yang redup, tapi wajah Ana benar-benar jelas di matanya. Begitu pula dengan lehernya yang terbuka. shit.
Perlahan, Wildan mencium Ana lembut dan membawanya menuju kasur. Ana masih menolak permainannya, tidak juga kunjung membalas apa yang dilakukan oleh Wildan. Tapi Wildan tahu, Ana tidak sekuat itu. Mereka sama-sama dewasa dan mengerti kemana arah dari permainan ini. Wildan merasa kepalanya semakin pusing, semakin lama wajah Ana semakin buram.
"Wildan?" suara Ana hanya terdengar samar di telinganya. Tidak lama setelah itu, Wildan tertidur di bahu Ana. Ana yang sadar ketika Wildan tertidur dengan nafasnya teratur, hanya bisa menarik nafas lega. Bahaya sekali malam ini pikirnya.
Setelah memposisikan Wildan dengan tidurnya yang nyaman, perlahan Ana melihat sekeliling kamar Wildan yang rapih, serba abu-abu dan beberapa corak stripes di dindingnya. mungkin karena Wildan jarang di rumah juga, kamar ini terasa sangat hampa.
Ana menatap kasur Wildan yang begitu luas, bahkan cukup untuk ukuran empat orang. dasar aneh. Malam ini Ana tahu dirinya hampir saja melakukan hal yang paling bahaya dalam hidupnya. Ketika mencium Wildan tadi, Ana tahu, alkohol lagi-lagi penyebabnya. Tapi Ana tidak bisa menolak perasaan itu. Begitu juga ekspresi Wildan yang menunjukkan betapa dirinya menginginkan Ana.
Ana kemudian memperhatikan Wildan yang tertidur pulas seperti anak kecil. Ana menangis, betapa dirinya menyukai kalimat Wildan ketika ia membutuhkannya. Tapi Ana tahu, dirinya tidak pernah dianggap ada di rumah ini.
"Wildan, aku juga butuh kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
(un) Happy Wedding
Romancefollow dulu apabila ingin membaca! Happy Reading! "Aku membencinya, dimulai dari perkenalan yang luar biasa tidak terduga. Aku benci sifatnya yang egois. Aku begitu membenci laki-laki itu hingga membuat Aku tidak bisa menjauh dari dirinya.." - Ana...