Sampai sekarang, tepatnya malam ini, Ana tidak bisa berhenti memikirkan apa yang sudah terjadi tadi siang. Ucapan yang diucapkan Wildan masih melekat dalam pikiran Ana hingga membuat dirinya terjaga sampai sekarang, jam 02.00 pagi.
"Sudahlah, buat teh saja, siapa tau bisa tidur setelahnya." Ana segera menuju dapur, anehnya lampu ruang dapur dan ruang tengah masih hidup, apa Mba Erna lupa matikan lampu?
Dugaan Ana salah, ternyata di sana ada wildan yang sedang duduk manis sambil minum teh di ruang tamu. Ana yang melihat keberadaan Wildan segera memutar balik badannya kembali ke kamar belakang, hatinya masih belum siap untuk ini.
"Ana."
Oh tidak, jangan!! Jangan panggil namaku!! Ana terdiam, kakinya tidak bisa digerakkan seperti mati rasa.
"Tidak bisa tidur?"
Tiba-tiba wildan sudah berada di sebelah Ana sambil memberikan secangkir teh. Posisi mereka sekarang berada tepat di pintu kaca menuju taman belakang. Wildan bersender di dinding pintu sedangkan Ana masih berdiri kaku.
Ana menatap Wildan dan bodohnya Wildan juga sedang menatap balik ke arah Ana, tapi Wildan segera mengalihkan pandangannya terlebih dahulu.
Tiba-tiba Wildan mendekat ke arah Ana, menyisakan jarak sangat dekat antara tubuhnya dengan Wildan. Ana yang merasa kaget melihat wajah Wildan yang tiba-tiba mendekat hanya bisa memejamkan matanya spontan.
"Bodoh."
Ternyata Wildan memberikan sweater yang ia kenakan, dibalik sweater itu, Wildan hanya memakai baju kaos putihnya. Tampak otot lengan Wildan yang membuat Ana menelan ludah dengan susah payah. Bagaimana pun Aku juga perempuan kan?
"Wildan banyak nyamuk. Nggak takut?" stupid question. dalam keadaan seperti ini aku tidak tahu harus bertanya apa lagi.
"Nyamuk tidak suka dengan laki-laki dingin." Ana tertawa. Murahan sekali lawakan Direktur ini.
"Lengan kamu udah merah begitu masih saja cari alasan."
"Sudah tahu, masih nanya."
Ana tertawa lagi. Baru kali ini Wildan bisa diajak bicara santai. Lagi-lagi Ana tersenyum sendiri, membayangkan sifat Wildan hari ini benar-benar aneh. Detak jantungnya sampai detik ini juga masih terdengar jelas. Bagaimana cara mendiamkannya?
"Tertawalah seperti ini terus, Ana." Wildan menatap Ana lekat.
"maksud kamu?"
Seketika semua kejadian buruk terlintas di pikiran Ana. Ana teringat, hari ini tepat satu tahun lamanya pernikahan kontrak ini berjalan. Bodoh sekali Aku memikirkan Wildan akan berubah menjadi sosok laki-laki yang manis hari ini. semua ini tidak pernah nyata Ana...
"Wildan seharusnya kamu tahu, kamu tidak bisa melakukan ini kepadaku. ini... semua ini, semua yang kamu lakukan hari ini tidak ada yang tulus kan? sudah kamu rencanakan bukan?" Ana menatap Wildan dengan mata yang berair, ada sesuatu yang menunggu untuk jatuh disudut sana.
"Tidak bisa Ana."
"Apa katamu?"
"Kita tidak bisa menikah. Aku Tidak akan pernah bisa"
dan kemudian air mata itu jatuh.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, tapi berkas kertas di atas meja Ana juga tak kunjung selesai.
Ana belum lama ini sudah bekerja. Gelar istri kontrak pengangguran sekarang sudah lepas dari dirinya. Apa Ana sudah gila? Ya, dimulai dari keputusannya untuk menjalani permainan pernikahan yang dilakukan Wildan kepadanya, Ana memang sudah gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
(un) Happy Wedding
Romancefollow dulu apabila ingin membaca! Happy Reading! "Aku membencinya, dimulai dari perkenalan yang luar biasa tidak terduga. Aku benci sifatnya yang egois. Aku begitu membenci laki-laki itu hingga membuat Aku tidak bisa menjauh dari dirinya.." - Ana...