TIGA PULUH TUJUH

21.3K 1.1K 26
                                    


1 jam,

2 jam,

5 jam,

Sudah 5 jam lamanya Wildan duduk di ruang tunggu kamar operasi. Sudah 5 jam juga dirinya sama sekali tidak melakukan apa-apa, dirinya dari tadi hanya duduk termenung, sesekali menutup wajahnya.

"Wildan, jika kau memaksakan dirimu seperti ini kau tidak akan bisa menjaganya." Araf dan Wina duduk di sebelah Wildan yang masih termenung diam.

"Bisakah kau mengurus dirimu dulu?"

"Raf," 

Suara Wildan begitu serak dan parau, wajar. Sudah 5 jam lamanya Wildan tidak minum atau makan, apa pun yang Araf berikan atau pun Wina berikan semuanya tidak digubris sama sekali oleh Wildan.

"Apa?"

"Aku tidak ingin siapa pun pergi dari sisiku lagi." Wildan mengatakan kalimat itu dengan jari yang bergetar dan bahu yang lemah. Mengenaskan.

"Karena itu aku mohon biarkan aku seperti ini untuk Ana." Kemudian Wildan menoleh ke arah Araf. Disana, di kedua mata Wildan, untuk pertama kalinya tatapan tajamnya sirna, yang ada hanyalah sorotan mata kosong tanpa makna.

Saat Araf ingin membalas ucapan Wildan, pintu ruang operasi terbuka setelah lima jam tertutup dengan rapat. Disana keluarlah Yudika dengan wajah penuh keringat dibalik kacamata yang menutupinya. Tanpa perintah, Wildan segera berlari dan memegang erat lengan Yudika, menatapnya dengan matanya yang memerah.

"Yudika, bagaimana?" Yudika menatap Araf yang berada di belakang tubuh Wildan, seperti enggan mengatakan apa yang terjadi.

"Jawab Saya!" suara Wildan menggema dengan sangat kencang di seluruh lorong rumah sakit.

"Pelurunya berhasil meleset dan tidak mengenai jantungnya, hanya mengenai bagian terdekatnya saja,"

"Jadi, baik-baik saja kan?" Wildan mengeratkan cengkramannya di lengan Yudika. Kemudian Yudika perlahan melepaskan cengkraman tangan Wildan dan mengelus bahunya pelan.

"Koma. Dan aku sama sekali tidak punya jawaban kapan dia akan bangun dan membuka matanya kembali. Aku akan berbicara denganmu lagi nanti, kau bisa menemuinya saat ia sudah selesai dipindahkan." 

Kemudian Yudika berlalu dengan beberapa perawat yang berada di belakangnya. Begitu sibuk berbicara dengan para perawat itu dan meninggalkan Wildan yang mematung di belakang.

"Raf, apa kata Ayahmu?! koma?" 

Wina menatap kedua mata suaminya yang sudah berair dan memerah, wina tahu yang barusan mereka dengar bukanlah mimpi. Semua perkataan Yudika adalah apa yang sudah terjadi dengan Ana. Tapi wina masih tersenyum di depan suaminya, tidak percaya akan semua perkataan Yudika barusan,

"Tidak kan, raf? Ana baik-baik saja kan? Iya kan?"

"Tidak Win, Ana tidak baik-baik saja. Kau tahu itu." 

kemudian Wina kembali menangis sekencang-kencangnya dan Araf langsung memeluk istrinya. Wildan masih berdiri mematung, airmatanya sama sekali tidak bisa keluar. Jiwanya sudah seperti dicabut dan ia sama sekali tidak bisa merasakan apa pun.

Kemudian layar televisi yang tergantung di atas langit-langit menampilkan headline news dari sebuah tv nasional dan menulis dengan judul yang begitu besar disana 'Direktur utama perusahan Kartadimadja terlibat aksi pembunuhan.'

Wildan yang melihat ke layar kaca hanya terdiam saat melihat Arza yang berhasil ditangkap polisi, walaupun wajah Arza disana diburamkan tapi Wildan tahu, wajah brengsek seperti Arza wajahnya sangat jelas teringat di kepala Wildan.

"David sudah berhasil mengurusnya, Wildan. Kau tidak usah khawatir."

Wildan masih menatap ke layar kaca itu tanpa ekspresi, tapi Araf tahu betapa dendamnya Wildan, melihat betapa merahnya kepalan tangan wildan terkepal disamping tubuhnya sendiri.

*

Setelah akhirnya Wildan berhasil memerintah tubuhnya untuk minum walaupun hanya beberapa teguk dan mengganti baju sesuai dengan yang Araf perintahkan dan sekarang disinilah Wildan berada, duduk di samping tubuh Ana yang terbaring lemah dengan alat pendeteksi jantung yang berbunyi setiap detiknya.

"Jangan menggodaku disaat seperti ini, kau terlalu cantik jika terlelap." 

Wildan menatap wajah Ana yang begitu tenang. Tidak ada tanda-tanda pergerakan matanya sama sekali, Ana masih saja diam.

Kemudian, wildan perlahan memegang jemari Ana dan menggenggamnya erat dan menempelkan jemari ana ke pipi kirinya.

"Siapa yang menyuruhmu punya jemari sedingin ini, hmm?" Wildan perlahan mengangkat tangan kanannya dan menuju ke wajah Ana yang masih tidak sadarkan diri.

"Apakah ini balasanmu atas semuanya?" perlahan Wildan mengelus rambut panjang Ana, menyusuri ke pipinya dan berhenti disana.

"Semuanya akan baik-baik saja, kau tahu kan aku akan selalu menemukanmu kembali?"

"Aku akan membiarkanmu beristirahat sekarang, jangan terlalu lama ya?" kemudian Wildan berdiri dan bergerak mendekat ke wajah Ana yang tertidur lelap, mencium dahinya disana.

"Selamat malam, Ana. Bangunlah dan cepat temui Aku, ya?"

*

(un) Happy WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang