"Buk Ana, Saya senang sekali lihat Bu Ana sudah sehat dan pulang ke rumah! Saya kangen loh, Bu." Mba erna memeluk tubuh Ana dengan erat. Ana yang melihat tingkah Mba Erna yang seperti anak kecil mendapatkan permen hanya bisa tertawa geli.
"Iya Mba, Aku juga rindu sama masakannya Mba Erna." Ana tersenyum tapi sedetik kemudian wajahnya kembali datar dan matanya mengelilingi seluruh sudut bagian rumah ini. Ya, rumahnya dengan Wildan.
"Kenapa Bapak nggak ikut pulang, Bu?" Ana kemudian seperti mati rasa mendengar nama itu diucapkan di depannya.
"Mba, Aku masih agak lelah, boleh tinggalkan sendiri dulu?" Ana meminta kepada Mba Erna dengan senyuman. Ana menghela nafas berat sambil memperhatikan seluruh isi bagian rumah ini sekali lagi.
1 tahun
Ya, tepat 1 tahun lamanya semenjak Ana sadarkan diri di rumah sakit waktu itu dan baru sekarang dirinya kembali ke rumah ini. Rumah ini masih sama, kosong dan dingin. Ana berjalan menyusuri ruang tamu kemudian berhenti tepat di tangga menuju kamar atas, kamar dari... untuk mengucapkan namanya saja Ana tidak sanggup.
Hati Ana terasa sesak melihat tangga yang ada di hadapannya sekarang. Masih teringat dengan jelas bagaimana wajah laki-laki yang tidak sanggup Ana sebut namanya itu meneriakkan namanya saat sadarkan diri. Wajahnya sudah dipenuhi dengan air mata dan matanya membengkak. Masih terngiang juga apa yang diucapkan laki-laki itu di hadapannya sambil tersenyum bahagia 'Aku merindukanmu, Ana'. Tapi, sekarang kalimat itu tidak lagi membuat hatinya berseri tapi membuat hatinya terasa sesak.
Wildan pergi. Laki-laki itu menghilang, itulah faktanya. Benar-benar menghilang dan tida ada kabar sedikitpun yang terdengar. Ana memejamkan matanya, hatinya meringis. Betapa bodohnya ia masih bisa mengingat semuanya dengan sangat jelas setelah ditinggalkan 1 tahun lamanya.
1 tahun lalu
"Ana..." wildan memanggil namanya yang duduk di samping ranjangnya.
"Ya?" sekarang Ana sudah hampir sembuh, Yudika mengatakan Ana sudah bisa pulang keesokan harinya karen tubuhnya sudah semakin stabil. Setelah ia sadarkan diri beberapa minggu yang lalu, Ana begitu bahagia. Wildan setiap hari menemaninya, berada di sampingnya. Tapi, entah kenapa saat Wildan tersenyum kepadanya, Ana merasakan senyuman itu tidak bermakna. Seperti ada yang ingin ia katakan dibalik senyumannya itu.
"Ada apa, Wildan?" Ana menatap ke arah Wildan yang menatapnya tepat di kedua bola matanya. Mata itu masih sama, hanya saja seperti meredup dan tampak kosong. Sebenarnya apa yang sudah terjadi?
"Tidak. Tidak ada apa-apa." Kemudian Wildan mengambil tangan Ana dan meletakkannya di bibirnya. Wildan selalu melakukan itu dan memejamkan matanya. Kemudian ia membuka matanya dan kembali tersenyum ke arah Ana. Selalu seperti itu.
"Ada yang mau kamu katakan?" Wildan diam hanya membalas pertanyaan Ana dengan senyuman. Kemudian Ana melihat ada selembar kertas yang dipegang Wildan di tangan kirinya.
"Apa yang ada di tangan kamu?" Wildan kemudian menatap Ana terkejut, tidak sadar Ana sudah melihat hal itu dari tadi di tangannya. Wildan itu tidak pernah bohong, matanya tidak bisa berbohong di depan Ana. Perlahan Wildan mengeluarkan tangan kirinya dan memperlihatkan kertas itu di hadapan Ana. Ana yang membaca tulisan di bagian paling atas kertas hanya bisa diam.
'Surat Gugatan Perceraian'
Ana dan Wildan sama-sama terdiam. Tidak ada yang berbicara satu sama lain. Kemudian Wildan mulai berbicara duluan,
"Saya butuh tanda tangan kamu." Wildan mengatakan itu sambil memberikan pena di hadapannya. Ana yang melihat hal itu teringat saat pertama kali ia melakukan kesepakatan pernikahan kontrak dengan Wildan.
KAMU SEDANG MEMBACA
(un) Happy Wedding
Romancefollow dulu apabila ingin membaca! Happy Reading! "Aku membencinya, dimulai dari perkenalan yang luar biasa tidak terduga. Aku benci sifatnya yang egois. Aku begitu membenci laki-laki itu hingga membuat Aku tidak bisa menjauh dari dirinya.." - Ana...