DUA PULUH LIMA

19.9K 1K 1
                                    


Wildan menatap rumahnya dari dalam mobil, terlihat sepi seperti tidak ada yang tinggal di sana. Rumah Wildan cukup besar, walaupun jarang berada di rumah, Bik Erna bisa membuat rumahnya selalu terlihat bersih baik dari dalam sampai ke luar rumah.

Mata wildan dari tadi hanya menatap pintu depan rumahnya terus menerus, pikirannya melayang memikirkan hal lain, namun matanya tetap tertuju ke arah pintu itu.

"Pak, kita masuk atau tidak?" David menatap dari kaca depan mobil ke arah Wildan yang masih termenung di kursi belakang.

"Tunggu sebentar lagi."

Sedetik kemudian, Wildan melihat taksi yang berhenti di depan rumahnya dan terlihatlah Ana yang keluar dari pintu taksi itu kemudian menutupnya kembali. Wildan bisa melihat jelas semuanya, David memarkirkan mobil agak jauh dari rumahnya dan berada di sebrang jalan, Ana tidak mungkin tahu dengan mobilnya berada di sebrang jalan agak jauh dari rumah seperti ini.

Wildan melihat Ana yang kondisinya tidak beda jauh dengan dirinya, terlihat mengenaskan. Anehnya, di mata Wildan, Ana mampu membuat hatinya sedikit lega saat melihat wajahnya yang mungil itu. Wajah Ana seperti, sedikit meringankan bebannya yang ia tanggung selama ini.

Tiba-tiba, Wildan melihat Ana yang semula berdiri di depan rumah, sekarang duduk jongkok dan menutup wajahnya di antara lengannya, Wildan melihat jam yang ada di tangannya, apa yang sedang Ana lakukan pukul 02.00 pagi seperti ini? Sedetik kemudian Wildan melihat bahu Ana yang berguncang naik turun, Ana menangis.

"Pak, jadi-" belum sempat David menyelesaikan kalimatnya, Wildan sudah keluar mobil dan belari menuju ke arah Ana yang berada di depan rumah.

Wildan kemudian mengikuti posisi Ana dan sekarang ia sudah jongkok menyamakan posisinya di hadapan Ana.

"hmm.. hm.. hm..hm.. hm.." Ana bersenandung dengan suaranya yang hampir tidak terdengar.

"Ayo pulang."

"Tidak... Aku tidak mau..." dari nada bicaranya Ana mabuk, wildan sudah tahu kebiasaan Ana jika sudah mabuk seperti ini.

"Aku... Aku tidak mau pulang ke rumah... rumah... Aku benci.." Wildan hanya diam, memperhatikan dan mendengarkan Ana dengan sabar,

"Aku tidak bisa... rumah itu penuh dengan laki-laki itu...."

"..."

"Aku tidak mau mengingat laki-laki itu... laki-laki itu jahat... Aku benci dia...."

"semakin Aku membencinya.... kenapa.. Aku semakin tidak bisa... melupakannya?"

Kemudian Ana menangis lagi, menangis terisak dengan posisinya yang berada di depan Wildan yang menatapnya. Untuk pertama kalinya, Wildan ingin sekali memeluk Ana dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja dan dia tidak perlu khawatir, Tapi tidak bisa.

Kemudian, Ana mengangkat wajahnya dan menatap Wildan dengan mata yang sudah merah dan bengkak, air matanya masih mengalir disana. Betapa Wildan ingin mengusap air mata itu dan ingin mengajak Ana pergi saja dari semuanya, tapi lagi-lagi tidak bisa.

Wildan perlahan menggenggam erat jemari Ana dan tersenyum,

"Ayo pulang, Ana."

***

(un) Happy WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang