H-80
Rapat dengan perusahaan asing, pertemuan dengan klien di luar negeri, perjanjian proyek di negara lain dan urusan kantor lainnya berhasil membuat Wildan melupakan masalahnya dengan Ana dalam beberapa minggu ini. Setelah Ana mengatakan hanya tinggal 100 hari lagi dan berujung dengan Wildan mengajaknya untuk melarikan diri saja, mereka sama sekali tidak berbicara sepatah katapun.
"Bicarakan saja dengan Ana, Dan. Kamu seperti orang mati dengan kondisimu yang sekarang."
"Pada akhirnya, aku juga akan mati. Sama saja." Araf menatap wildan prihatin.
Wildan sudah hampir 3 minggu ini ia tidak berbicara sama sekali dengan Ana. Selama 3 minggu itu juga, Wildan terlihat seperti orang mati yang menyibukkan diri sendiri dengan urusan kantor. Araf tahu, Wildan bukanlah orang yang akan langsung membicarakan isi hatinya kepada siapa pun, tapi kondisinya sekarang benar-benar tidak baik, baik kondisi batinnya dan tubuhnya.
Selama 3 minggu ini juga sudah 5 kali Wildan masuk rumah sakit dan hal itu tidak mampu untuk membuatnya berhenti bekerja mengenai urusan kantor. Setelah masuk rumah sakit dan akhirnya sadar dari pingsannya, Wildan akan langsung melepaskan infus kemudian menelfon David untuk mengantarnya kembali ke kantor.
Araf sudah menyerah untuk membuatnya beristirahat dan kembali kerumahnya, tapi tetap saja itu sia-sia.
"Araf?"
"Ah, ya?"
"Aku tanya bagaimana pendapatmu dengan proyek ini?" melihat keadaan Wildan yang begitu buruk membuat Araf melamun dan tidak memperhatikan apa yang dibicarakan WIldan di depannya.
"Kerjasama dengan perusahaan Chang Xia Zhen di cina?" Wildan mengangguk dan menatap Araf menunggu jawabannya.
"Perusahaan itu juga sebelumnya pernah bekerja sama dengan Karta-" belum sempat Araf menyelesaikan kalimatnya, Wildan kemudian membuang proposal yang ada di tangannya ke lantai.
"Batalkan kerja sama itu."
"Tapi Wildan, Chang Xia Zhen adalah investasi kita yang paling besar. Lagi pula mereka sudah lama sekali terlibat dengan Kartadimadja Company."
"Apa kau tidak dengar? Aku bilang batalkan."
"Apa kau akan seperti ini terus, Wildan?"
"Apa maksudmu?"
"Melarikan diri dari kesalahan yang kamu buat sendiri?" kemudian Wildan spontan teringat dengan kalimat itu, sama dengan apa yang diucapkan Ana kepadanya.
"Sudah jangan memulai lagi, Araf."
"Sampai kapan kamu akan melarikan diri seperti ini terus?" kemudian yang terjadi adalah pecahan gelas yang sudah berhamburan dilantai. Wildan membuang semuanya yang ada diatas mejanya.
"Melarikan diri katamu?! 12 tahun sudah aku memperjuangkan semuanya sendirian!"
Araf menatap wildan dengan pandangan iba, sahabatnya sekarang sudah benar-benar dalam kondisi mengenaskan. Araf tahu betapa sulitnya hidup Wildan selama 12 tahun belakangan, tapi dengan bersikap seperti ini bukanlah jawabannya. Wildan hanya butuh sedikit pancingan.
"Apa kau mencintainya?"
"Apa katamu?"
"Apa kau mencintai Ana, Wildan?"
Wildan terdiam, bibirnya tidak bisa membalas apa pun. Araf yang melihat sorotan mata wildan yang semula begitu kuat menyimpan dendam, sekarang sorotan matanya berubah menjadi kosong setelah mendengar araf menyebutkan nama perempuan itu.
"Kalau tidak, beritahu saja dia semua yang terjadi selama ini."
"Aku sudah berjanji, kau tahu itu."
"Kau berjanji menjaganya dengan menikahinya, kan?"
"..."
"Apa yang kau lakukan sekarang dengan menikahinya secara kontrak 2 tahun, termasuk menjaganya juga?"
"...Kau berjanji untuk tidak menyakitinya Wildan,"
"Diam, brengsek!"
"selama 12 tahun ini, bukan kau yang menanggung semuanya sendirian, tapi Ana.."
"..."
"Perempuan yang sudah kau sakiti hatinya selama 12 tahun ini, Wildan."
KAMU SEDANG MEMBACA
(un) Happy Wedding
Romancefollow dulu apabila ingin membaca! Happy Reading! "Aku membencinya, dimulai dari perkenalan yang luar biasa tidak terduga. Aku benci sifatnya yang egois. Aku begitu membenci laki-laki itu hingga membuat Aku tidak bisa menjauh dari dirinya.." - Ana...