DUA PULUH DELAPAN

21.3K 996 9
                                    


Ana terduduk lemas di sofa ruang depan. Dirinya masih tidak bisa berpikir dengan jernih, semenjak ia mengetahui bahwa Wildan akan melakukan pemeriksaan di rumah sakit dan tidak memberitahu siapapun akan hal itu, Ana tidak bisa diam.

"Halo, Wina, dimana?"

"Ada apa, An?"

"Kerumah gue sekarang ya. I need to ask you something."

"on my way." Sambungan terputus. Ana hanya ingin mengetahui apa yang terjadi dengan Wildan selama ini. Ia merasa bahwa Wildan terlalu banyak yang dirahasiakan selama ini dan Ana tidak ingin dirinya tidak mengetahui apa-apa. Itu membuat hatinya sesak, ia benci itu.

Kemudian setelah berselang waktu 15 menit, pintu depan terbuka dan muncullah Wina yang menatap Ana lemas. Wina kemudian mendekati Ana dan duduk di sebelahnya.

"Wina, kasih tahu gue semuanya." Wina terdiam, kemudian mengalihkan pandangannya dari mata Ana.

"Apa An? Gue nggak tahu apa-apa."

"Jadi, lo nggak tahu juga soal ini?" Ana memperlihatkan foto yang ada di ponselnya. Wina yang menatap foto itu matanya bergetar, seperti tidak percaya Ana akan menunjukkannya hal ini. Kemudian Wina menatap kedua mata Ana yang begitu lelah. Tubuh Ana juga semakin kurus, belakangan ini juga Ana tidak pernah lagi tersenyum kepadanya atau mengajaknya pergi jalan sekedar untuk makan dan bercerita hal konyol, tidak pernah lagi.

"Ana.. untuk persoalan Arza dan Wildan, gue nggak bisa jelaskan itu karena jawabannya ada pada Wildan sendiri."

"Kenapa lo nggak kasih tau gue kalo lo tau Arza?"

"Gue harus lakukan itu untuk kebaikan lo, An. Kebaikan semuanya."

"Kebaikan gue lo bilang? Apa bohong di hadapan gue sekarang udah termasuk kebaikan buat gue juga?!"

"Ana ada satu hal penting yang lo harus tahu." Ana memejamkan matanya kemudian menghela nafas. Lalu ia membuka matanya lagi,

"Apa ini tentang Arza dan Wildan?"

"Tidak, ini hanya Wildan." Mata Ana mulai berair, menatap Wina dengan lemas.

"Apa ini ada hubungannya dengan hidup Wildan?"

"Wildan sakit parah, Ana." Ana diam saja, airmata Ana akhinya mengalir. Dadanya mulai sesak.

"Dimulai dari nikahin lo, setahun lalu." tanpa sadar Wina mengatakan Aku kamu kepada Ana. Wina menggenggam erat jemari Ana yang bergetar. Jika dalam hidup ini Ana bisa memilih apa yang paling ia benci di dunia, maka ia akan menjawabnya 'ditinggalkan'. Seperti yang orangtuanya lakukan kepadanya

"Wina... lo tau gue harus tau semuanya kan? cepat atau lambat.."

"lo ingat ga kenapa setahun yang lalu waktu lo nanya lo ga bahagia sama Wildan? gue selalu jawab  percayalah dengan Wildan, lo beruntung punya Wildan. Ingat?" Ana mengangguk pelan, memejamkan matanya dan masih menangis terisak.

"Karena sejak 12 tahun silam, Wildan selalu memperhatikan lo, An. Jagain lo dalam keadaan apa pun."

"Wildan pembohong kelas kakap Win, sekarang gue harus punya sahabat yang bohongin gue juga?!"

"lo pikir apa alasan Wildan bisa nikahin lo tiba-tiba waktu setelah bokap lo ninggal?"

"Wildan ingin bebas dari kekangan orangtua dia Wina, kami hanya berusaha saling menguntungkan dalam pernikahan ini."

"Karena Wildan mencintai lo Ana, sejak lo nangis di pemakaman ibu lo jauh sebelum ini semua."

FLASHBACK 

"Ma, kenapa Mama tinggalin Ana sama Papa?! Ana bisa apa tanpa mama di sini?" Ana menangis terisak di samping batu nisan ibunya. Baskara, papa Ana, hanya bisa menangis diam dan memeluk putri semata wayangnya. Lalu kemudian Baskara bangkit dan mengajak Ana untuk pergi. Semakin lama berada di sebelah nisan istrinya, Baskara seperti ingin cepat menyusulnya.

"Ana, ayo kita pulang."

"Apa papa nggak perduli sama mama?! Mama sendirian pa!" putrinya yang berumur 26 tahun itu berteriak kepada Baskara dengan nada yang menyakitkan. Baskara tidak sanggup melihat anaknya seperti ini, terlalu cepat dirinya ditinggalkan oleh perempuan yang ia cintai untuk seumur hidupnya.

"Jangan menangis. Dia tidak sendirian dia selalu bersamamu dari sana." Laki-laki itu menunjuk ke atas ke arah langit biru cerah, Suara serak dan dingin laki-laki itu berbicara kepada Ana yang menangis terisak. Laki-laki itu kemudian ikut duduk menyamakan posisi Ana yang berada di samping nisan ibunya.

Laki-laki itu tiba-tiba memeluk Ana dengan erat, terdengar nafas yang beraturan laki-laki itu di telinga kanan Ana.

"Apapun yang terjadi, tetaplah hidup. Masih banyak yang harus kamu capai di dalam hidup yang terjadi hanya sekali ini." Kemudian laki-laki itu melepaskan pelukannya lalu berdiri.

"Apa Aku akan baik-baik saja?" teriak Ana saat laki-laki itu berjalan jauh kemudian ia berhenti dan berbalik.

"Percaya padaku, Kamu akan baik-baik saja."

"Apa aku akan bertemu denganmu lagi?"Ana menatap laki-laki itu yang masih berdiri diam dari jarak yang agak jauh.

kemudian laki-laki itu tersenyum kepada Ana.

"Aku yang akan menemukanmu lagi, Ana."

***


(un) Happy WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang