"Win, lo dimana?"
"Di rumah lah, Gue sibuk ngurus si Arsya gini bisa kemana gue?" Ana tertawa. Inilah mengapa salah satunya yang membuat Ana bisa bertahan dalam keadaan sesulit apapun. Wina, sahabat kurang ajar yang sudah Ana anggap saudaranya sendiri. Omongan Wina terlalu pedas untuk diajak berbicara kepada orang lain.
Ana kenal dengan Wina semenjak dirinya masih belum tahu dengan dunia yang kejam ini.
"Nggak usah sedih, dunia belum kiamat, gue juga dapat nol kok, An."
Kalimat itulah yang membuat Ana sangat menyukai sifat Wina yang blak-blakan. Dimulai semenjak mereka sama-sama mendapatkan nilai nol dalam pelajaran logaritma matematika SMA.
"Gue ke rumah, ya? Si Arsya ada nggak?" belum sempat Wina menjawab, terdengar suara anak kecil yang menyaut di sambungan telepon.
"Tante Ana, ke sini ya?" Ana tidak bisa menahan senyumannya, mendengar suara kecil itu saja sudah membuat hatinya senang seketika. Itu suara anak Wina yang pertama, Arsya Putra Aldebaran. Keluarga suami Wina, Aldebaran, berasal dari keluarga blasteran. Sampai sekarang pun Ana juga tak menyangka, bule seperti Araf Aldeban, bagaimana bisa jatuh cinta dengan Wina yang seperti ulat bulu?
"Iya sayang, Tante kesana ya."
"Ntar kalo lo udah sampe, masuk aja. Lo tau kan Arsya aktifnya kayak gimana? Susah mau bukain pintu demi lo doang."
"Sialan. Dah, sampe ketemu." Sambungan terputus.
Setelah bersiap-siap, Ana langsung menancapkan gas mobil menuju rumah Wina. Seperti perkataannya di telfon tadi, Ana langsung mengucapkan salam di depan pintu lalu masuk tanpa disambut oleh Wina.
"Wah si Tante direktur datang." Ana cemberut, masih saja Wina memanggil dirinya dengan sebutan Ibu Direktur.
"Apaan sih Win, jangan bikin gue badmood deh. Arsya mana?"
"Kecapekkan main. Sekarang lagi tidur, An. So kenapa lagi kali ini?" begitulah Wina, tanpa ba bi bu dan sangat to the point. Ana hanya tersenyum lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela menuju halaman belakang rumah Wina yang luas.
"Win, gimana kalo gue bilang kalo gue nggak bahagia sama pernikahan ini?"
Tidak ada jawaban, Wina tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Tidak kaget, tidak heboh seperti biasanya jika mendengar kabar tiba-tiba seperti ini.
"Gue istri kontraknya Wildan, Win. Makanya Gue nggak bahagia." Ana melirik ke arah Wina. Wina masih menatap ke arah halaman belakang, tidak berani menatap mata Ana langsung.
"Win.."
"Gue tau, Ana. Gue udah tau." Sekarang Ana yang dibuat Wina kaget. Tahu darimana Wina tentang masalah ini? Seingatku perjanjian itu hanya aku dan wildan yang tahu. Ana menatapnya meminta penjelasan lebih.
"Pernikahan itu nggak ada yang mulus, An. Lo harus tau itu."
"Tapi, Win.."
"Percaya sama Gue, lo beruntung punya Wildan. Gue serius, An."
Ana menatap kedua mata Wina, tidak ada kebohongan dimatanya, Ana tahu itu. Apa maksudnya dengan dirinya beruntung memiliki Wildan? Apa Wina berpikir Wildan adalah direktur kaya dan ia beruntung memiliki suami yang banyak uang?
Tidak mungkin, Wina tidak mungkin seserius itu untuk alasan yang sepele.
Banyak pertanyaan yang ingin Ana tanyakan dengan Wina, bagaimana bisa dia tahu tentang pernikahan kontrak ini, bagaimana bisa ia mengatakan dirinya beruntung memiliki Wildan.
"Sekarang bukan saatnya untuk ngasih jawaban semua pertanyaan lo, An. Gue nggak bisa jawab. Cuma wildan jawabannya." Ana mengerutkan dahinya. Wildan? Kenapa bisa?
"Udah deh, Win. Nggak usah bahas hal-hal serius lagi, kasian otak lo nanti jadi konslet gue ajak obrol serius terus"
"Nggak usah sok perhatian, semenjak kenal lo, otak gue emang udah konslet."
Ana dan Wina tertawa. Namanya juga Wina. Yah begitulah dia.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
(un) Happy Wedding
Romancefollow dulu apabila ingin membaca! Happy Reading! "Aku membencinya, dimulai dari perkenalan yang luar biasa tidak terduga. Aku benci sifatnya yang egois. Aku begitu membenci laki-laki itu hingga membuat Aku tidak bisa menjauh dari dirinya.." - Ana...