Jika pada hari-hari Senin yang lain, Adam sudah siap untuk berangkat kerja. Senin kali ini, rupa-rupanya menjadi Senin yang berbeda untuk Adam. Pagi ini, sambil berbaring di atas kasur, Adam masih saja menatap langit-langit kamarnya. Itu dilakukannya sudah hampir 8 jam lamanya.
Bila dijabarkan lagi secara lebih spesifik, gambarannya seperti ini. Kedua tangannya ia tangkupkan di atas dadanya. Lalu mulutnya terkatup rapat dan tatapannya terpaku kosong ke arah langit-langit kamar. Pikirannya jelas tidak berada dalam ruangan itu.
Rupanya Adam sedang memikirkan sebuah gagasan. Gagasan yang jika dirangkum dalam rentetan kata-kata, akan terdengar seperti "melompat kabur dari kehidupan".
Singkatnya, ia ingin pergi begitu saja dari pekerjaan, beserta gaji bulanannya. Ada kata "lompat" dalam gagasannya yang absurd dan itu berarti sesuatu yang seharusnya dilakukan dengan penuh spontanitas.
Jiwa Adam kali ini sedang tergoda untuk melakukan sebuah sensasi perjalanan. Layaknya Christopher McCandless, dalam buku memoarnya yang berjudul Into the Wild yang ditulis John Krauker. Pemuda yang mencoba lari dari sistem kehidupan normal, menuju pelukan alam bebas Alaska.
Gagasan untuk "melompat kabur dari kehidupan", menimbulkan imaji terliar dan pikiran paling tolol yang pernah diinginkan–nyaris dilakukannya saat itu juga-, di usianya yang juga nyaris mendekati hitungan seperempat abad. Hanya saja, tidak mudah untuk melakukan sebuah tindakan irasional. Sebab berlawanan dengan kata hatinya, logikanya memiliki suara yang lain, "Mau makan apa lu entar kalau keluar sekarang? Pikir lagi Dam, pikir!" teriak suara dalam kepalanya dengan nada tinggi.
Menuruti kata hati atau logikanya? Adam tidak tahu harus memilih yang mana? Keduanya menawarkan sesuatu yang sama sekali berbeda.
Kendati kedua suara bersilang pendapat itu sahut-menyahut di rongga dada dan kepalanya. Masih tersisa satu hal yang disepakati oleh hati dan pikirannya kala itu.
"Jam udah nunjuk pukul setengah tujuh, lu harus mandi Dam!" kata hati dan logikanya bersamaan.
"Ya, mau kabur sekarang atau nanti, yang penting gue mandi dulu," kata Adam pada dirinya sendiri.
Sedetik kemudian ia telah meraup kesadarannya lagi, kemudian bangkit dari posisinya. Ia pun masuk ke kamar mandi.
***
Adam sebenarnya bukan seseorang yang suka berlama-lama dalam urusan mandi. Biasanya hanya butuh waktu 10-15 menit saja untuk urusan itu. Akan tetapi, kali ini ia mandi nyaris setengah jam lamanya.
Selama di dalam kamar mandi, lagi-lagi perdebatan antara hati dan logika Adam berkecamuk. Perdebatan itu seolah menjadi suara-suara yang menggaung memenuhi kamar mandi. Jika logika dan hatinya berkecamuk terus menerus, anehnya tangan dan tubuhnya seperti sudah terprogram untuk berpakaian rapi.
Jemarinya cekatan menyelipkan biji demi biji kancing kemejanya yang senada dengan warna langit cerah itu. Lalu tangannya otomatis memasukkan ujung kemejanya ke dalam celana kain berpotongan slim fit warna hitam. Setelah itu, giliran gesper yang dikencangkan. Lalu pada akhirnya, ritual itu ditutup dengan mengatupkan resleting celananya.
Tak lupa ia menyemprot minyak wangi serta menyisir rambutnya yang berpotongan under cut yang telah diolesi pomade. Anehnya semua itu dilakukannya dengan benar walau dalam keadaan setengah melamun.
Semua ritual pagi itu pun terlihat seperti semestinya. Adam pun melangkah keluar dari kamar kosnya. Memakai kaos kaki hitamnya yang sedikit bolong, tepat di ujung jempol kaos kaki. Tak lupa menyelipkan kakinya yang berkaus bolong itu ke dalam sepatu kulit formal yang hitamnya sampai mengkilat-kilat.
Sampai detik-detik terakhir itu, ia masih tidak tahu entah mau ke mana dan mau melakukan apa. Walau dandanannya seperti seorang pekerja yang hendak ke kantor, namun sebenarnya Adam lebih tergelitik untuk memenuhi kata hatinya saja. Lari!
Dalam bingungnya, hendak ia biarkan saja kakinya memilih tujuannya sendiri pagi ini. Sudah puluhan tahun kakinya telah ia kuasai, kini saatnya kaki itu bebas menentukan pilihan, pikir Adam. Namun, satu hal yang tidak pernah ia ketahui.
Langkah kaki tak pernah punya daya pikiran sendiri. Langkah kaki telah membuat jutaan langkah yang sama selama bertahun-tahun untuk menuju ke satu tujuan, atas perintah logika.
Setelah keluar dari mulut gang di daerah Pesanggrahan, Adam pun mencegat angkutan kota berwarna merah bernomor 3, jurusan Meruya-Citraland. Adam tahu, ia tidak harus mencegat angkot untuk menuju kantornya. Dibutuhkan waktu 5-10 menit dengan berjalan kaki untuk menuju kantornya dari tempat kos, seperti kebiasaannnya sehari-hari.
"Kenapa lu nyegat angkot Dam?" tanya logikanya penasaran. Namun terlanjur, Adam sudah masuk ke dalam angkot, tanpa harus menuruti logikanya sendiri.
"Ha,,, hari ini g,,, gue enggak ngantor!" kata Adam dalam hati, seakan-akan ia tak percaya dengan kelakuannya sendiri.
Ia sempat berpikir untuk turun saja dari angkot dan meneruskan langkahnya menuju kantor seperti biasa. Terlanjur, angkot yang ditumpanginya sudah jalan. Adam pun akhirnya pasrah hendak dibawa ke mana saja dan tak melakukan apa-apa untuk menghentikan angkot itu, maupun kenekatannya sendiri, yang mulai mendekati tingkat senewen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lari
Mystery / ThrillerAdam melompat dari hidupnya yang mapan di Jakarta. Lelaki ini terlempar dari rutinitas yang membosankan. Mencoba meraup kebebasan yang ingin diraihnya. Tak disengaja ia bertemu dengan Qorine. Pesohor yang kalut akan konsep kabahagian dalam hidup. Me...