"Manusia sebenarnya memiliki takdir." ungkap Hector.
Pertemuan Adam dengan Hector, terjadi lebih dahulu daripada pertemuan Adam dengan Qorine. Pertemuan di antara dua laki-laki itu juga terbilang tidak biasa. Semacam pertemuan yang cepat mengakrabkan mereka berdua.
Pada akhirnya, mereka pun seringkali terlihat bersama-sama menghabiskan malam sambil berbincang-bincang ditemani Capuccino ataupun Americano. Sebuah Coffee Shop yang cozy di daerah Menteng menjadi tempat yang sering mereka gunakan bertemu.
Sulit untuk bisa memastikan usia laki-laki asing bernama Hector ini. Dari baju safarinya yang tidak disetrika rapi. Dari rompi berwarna coklat susunya. Dari celana kargonya yang berwarna hijau dongker. Hector akan mudah diasosiasikan sebagai seorang petualang dengan beragam profesi utama. Entah seorang penjelajah, peneliti, wartawan, atau bisa jadi arkeolog.
Adam sendiri memang selalu punya ketertarikan untuk berbincang-bincang dengan para backpacker, apalagi sekelas world citizen seperti Hector. Ia senang mendengar segudang kisah yang disimpan Hector selama petualangannya mengarungi sudut-sudut dunia.
Tak sekedar kisah perjalanan, Hector juga dengan cerdasnya menyisipkan ide-ide filosofis di antara perbincangannya dengan Adam. Adam seakan terhipnotis oleh gagasan sang petualang tua itu.
"Hanya saja kita lupa pada takdir yang telah digariskan, persis saat kita lahir di dunia." lanjut Hector sebelum menyesap Americano-nya lagi.
***
Adam menghentikan ceritanya persis di bagian dialog tersebut. Ia berhenti untuk menyeruput Capuccino-nya yang nikmat. Kepulan asap tipis masih keluar dari atas cairan coklat itu.
"Kopi di sini emang enak." ujar Adam. "Lu bilang, lu juga sering ke sini?"
"Kalau yang di Menteng ini baru pertama kali. Aku lebih sering yang di Kemang," jawab Qorine datar.
"Lu pasti enggak percaya, kalau kopi favorit Hector itu Americano juga," ungkap Adam.
"Oh ya?" tanggap Qorine, sembari mengangkat cangkir Americano-nya untuk kesekian kali.
Qorine yang penasaran dengan cerita Hector yang terputus tadi pun memancing Adam untuk melanjutkan kisahnya.
"Terus apa yang dilakukan si Hector yang lu ceritain tadi?" pintanya.
"Lu penasaran juga ya?"
"Ya iyalah, lu udah cerita sejauh ini." tuntut Qorine.
***
"Dua puluh tahun lalu, aku sempat bekerja di tambang minyak," ungkap Hector. Tatapan Hector menerawang ke langit-langit coffee shop saat bercerita. Seakan ingatannya menggelantung di sana. Bagai layar yang memproyeksikan gambar tak kasat mata.
"Sebagai?" tanya Adam sedikit memaksa, agar Hector tidak terlalu lama melamun.
"Insinyur pertambangan spesialis minyak bumi."
"Dan kamu meninggalkan semua itu demi menjadi seorang gelandangan?"
"Ha,,,ha,,,ha,,," tawa Hector meledak. "Kata-katamu sarkas sekali anak muda. Tapi aku suka keterus teranganmu."
"Well, karena aku pikir hanya orang yang cukup gila yang mampu meninggalkan pekerjaan dan kehidupan mapan untuk berkeliling dunia,,,errr,,, salah menggelandangkan diri."
"Anak muda, perlu kamu tahu, sekarang aku jauh lebih bahagia daripada sebelumnya. Aku justru menyesal kenapa tidak memulainya sejak awal."
"Apa yang menahanmu waktu itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lari
Mystery / ThrillerAdam melompat dari hidupnya yang mapan di Jakarta. Lelaki ini terlempar dari rutinitas yang membosankan. Mencoba meraup kebebasan yang ingin diraihnya. Tak disengaja ia bertemu dengan Qorine. Pesohor yang kalut akan konsep kabahagian dalam hidup. Me...