Aksi Mata-Mata

9 1 0
                                    


Malam hari di hutan gunung Gede sebenarnya begitu melelapkan, terlebih lagi bila terhanyut merdunya suara hewan-hewan malam yang membuai ke alam mimpi. Cuaca dingin semakin meneggelamkan setiap orang, agar terus bergumul dalam sleeping bag masing-masing. Kadang, dengkur keras pendaki yang kelelahan, sesekali merusak ritme alamiah di malam hari itu.

Sayangnya subuh pun datang dalam tempo sesingkat-singkatnya. Mereka yang berniat kuat untuk memburu sunrise, menjadi manusia pertama yang terjaga dan membangunkan rekan-rekan pendaki yang lain.

Dini hari buta, aktifitas pendakian mulai bergejolak kembali. "Srat,,,sret,,," suara resleting tenda terbuka. Mereka yang menggeliat mengusir rasa malas pun saling sahut menyahut memenuhi udara. Gerombolan pendaki lain pun sudah beranjak ke puncak tujuan masing-masing.

Gerombolan pedagang nasi uduk yang menginap di pos Kandang Badak juga kembali bersemangat menjajakan dagangannya pada pendaki yang mungkin kelaparan.

Adam dan kawan-kawannya lain lagi. Mereka malah siap untuk turun gunung sepagi itu. Ada rute rahasia yang menantinya di ujung sana. Rute belakang yang akan menghindari pemeriksaan pos penjagaan, tembus hingga ke pasar Cibodas.

Berangkat lebih pagi, berarti semakin memperkecil kemungkinan mereka bertemu penjaga pintu masuk.

***

Langit gelap dini hari perlahan-lahan bergradasi menjadi biru. Pertanda bila matahari bangkit dan mulai menyinari bumi lagi. Sedangkan burung-burung sudah bangun dari tidurnya di batang dan ranting pohon-pohon hutan. Keciap, siulan, dan kicauan burung-burung hutan memenuhi udara dengan riuhnya. Sementara itu, gemericik air di kejauhan terdengar menderu-deru tiada henti.

Perjalanan empat pemuda-pemudi itu sudah separuh jalan.

Kini mereka harus berhadapan dengan curug Cibereum yang berair panas. Curug Cibereum merupakan salah satu jalur unik di Cibodas. Pendaki harus menyebrangi puncak air terjun itu, dan harus betul-betul hati-hati meniti bebatuan basah nan licin yang dipijaknya. Ada semacam pegangan besi yang bisa dijadikan pegangan. Sayangnya pengaman dari besi itu sendiri tampak kurang meyakinkan, karena telah miring menjorok ke tubir jeram. Sedikit saja salah melangkah, siapapun akan terpeleset lalu jatuh tertelan jeram air terjun, persis di bawah kaki mereka.

***

Angga mondar-mandir menunjukkan kegelisahan bercampur kebosanannya yang sebentar lagi berujung putus asa. Sehari semalam ia menunggu di Cibodas. Selama itu pula ia memelototi setiap pendaki. Berharap salah satu dari tiga orang yang telah ia hafalkan wajahnya, muncul.

Namun tidak ada satu pun wajah familiar yang bisa membuatnya yakin bila pengejaran mereka berada di trek yang tepat.

Menunggu bukanlah pekerjaan yang mudah dan menyenangkan, apalagi ditambah dengan mengawasi. Jika ada pilihan lain, Angga lebih memilih untuk mencari ke mana-mana daripada harus menunggu dan mengawasi.

Ia melihat jam di pergelangan tangannya. Jam itu telah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Kopi sudah habis bergelas-gelas. Kabut di atas kepalanya menggumpal, seakan mencerminkan kusut masainya pikiran dalam otak Adam. Namun pada akhirnya, kebuntuannya terpecahkan.

Ia melihat gerombolan berjalan tergesa-gesa ke arah pasar Cibodas. Tidak salah lagi si kembar Jaka, Jaki, wanita yang menutup separuh wajahnya dengan kain buff, dan seorang laki-laki lain yang tidak jelas siapa, dilihatnya baru saja turun dari jalanan aspal yang menurun itu.

Angga akhirnya menghubungi rekan-rekannya di pos-pos pengintaian di sekitar Cibodas, tidak lupa mereka menghubungi Dinggo dan kawan-kawannya di jalur Putri.

LariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang