Benang Kusut

9 1 0
                                    

Bola mata Henry yang berwarna coklat gelap, menatap dengan dalam foto-foto yang berserakan di atas meja kerjanya. Tidak salah lagi, yang dilihat Henry adalah foto adiknya sendiri, Qorine. Terperangkap dalam ukuran 4x6 sentimeter. ia tak tahu, foto itu telah diambil di belahan dunia mana. Tapi jelas sekali foto itu menunjukkan Qorine sedang dalam kendaraan umum. Tanpa ikatan, bebas dan tenang.

Perlahan dagu Henry terangkat agar matanya mampu menatap wajah Nadine yang tak ramah itu. Seperti ingin mencari tahu siapa sebenarnya wanita di hadapannya. Darimana Ia mendapatkan foto adiknya? Apakah Wanita ini bisa dipercaya?

Ada banyak pertanyaan yang menderanya beberapa hari ini. Walau dihadapannya kini seolah terdapat jalan keluar dari krisis yang dihadapinya, ia masih ragu.

"Aku tidak tahu siapa kalian, reputasi, errr,,, apa kalian ini legal?" sejenak Henry menarik nafas. Menciptakan jeda di antara kalimat yang akan terlontar kembali.

"Kamu harus tahu, semua peristiwa ini begitu mengejutkan. . ."

"Kami memang mengejutkan." potong Nadine. Kata-katanya seakan menegaskan sesuatu.

"Tapi reputasi kami sebagai Private Investigator sudah berlangsung selama 15 tahun..." terang Nadine. "Hampir tanpa cela." lanjutnya.

"Well,,, aku sebenarnya masih belum percaya sepenuhnya dengan kalian." ucap Henry.

"Private investigator? Baru kali ini aku dengar hal semacam itu, di Indonesia!"

Nadine tampaknya tak mau menunggu lama-lama. Ia dengan dinginnya mengumpulkan foto-foto Qorine yang berserakan di atas meja kerja Henry. Tak ada sepatah pun kata basa-basi yang ingin diucapkan Nadine lagi. Ia bergerak dari tempat duduknya.

"Wait! Mau ke mana?" tanya Henry kelabakan.

Nadine tidak menjawab sepatah kata pun. Ia sudah separuh jalan menuju ambang pintu.

Saat tangan Nadine sudah menggapai gagang pintu, tiba-tiba.

"Deal!" teriak Henry dari belakang kepala Nadine.

Nadine masih belum menoleh ke belakang, walau dengan jelas mendengar kata terakhir yang dilontarkan Henry. Ia masih terpaku di depan pintu yang belum lagi dibukanya. Seakan Nadine sengaja untuk membekukan waktu sesaat, mendramatisir keadaan.

Henry yang mengetahui ucapannya itu membawa pengaruh pada tindakan Nadine pun melanjutkan kembali rayuannya. "Calm down honey, you win." ujarnya.

Nadine pun akhirnya membalikkan badan dengan peralahan. Penuh percaya diri ia menatap mata Henry yang sudah pasrah dan kehilangan arah. Di sana, di mata Henry, Nadine melihat tatapan seseorang yang putus asa dan kini menemukan secercah harapan pada sesuatu yang asing.

"15 juta rupiah untuk awalnya. Sisanya dibayarkan setelah misi selesai. Deal?" kata Nadine retoris, sekedar untuk menegaskan negosiasinya saja.

"Kalau boleh tahu berapa sisanya?"

"Untuk kasus semacam ini, biasanya kami mematok harga 35-50 juta."

Sejenak Henry sempat berpikir. Apakah itu harga yang pantas? Apakah ia tidak terjebak suatu tipuan?

Namun ia tepiskan pikirannya dengan segera. Seolah takut Nadine akan berlalu lagi dan akses satu-satunya ke Qorine akan lenyap.

"Just like what i said. Deal!"

***

Cicaheum, Bandung, seperti halnya tipikal sebuah terminal, selalu penuh sesak oleh manusia dan kendaraan lainnya. Bus kotak-kotak panjang berjejer berbaris-baris menunggu penumpang yang hendak naik menuju tujuan masing-masing. Kondektor dan calo berteriak lantang melambai-lambai ke arah calon penumpang yang duduk-duduk menunggu keberangkatan bus mereka.

LariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang