Mesin dan Manusia

88 5 5
                                    

"Lu mau ke mana? Apa kata bos lu kalau lu kagak ngantor hari ini, Dam? Gue nggak habis pikir sama kelakuan lu!" protes logikanya lagi, kini suara-suara logika dalam kepalanya terdengar hampir seperti teriakan.

Adam yang terlanjur berada di dalam angkot pun mencoba menghilangkan suara-suara protes dalam kepalanya itu. Ia seolah bertingkah cuek, dengan melayangkan pandang ke kesibukan orang-orang di sepanjang jalan. Entah kenapa ia kini merasa telah resmi menjadi seorang pengangguran. Selain itu, baru kali ini ia merasa bahwa kota ini benar-benar terlalu riuh.

"10 juta manusia," lirihnya dalam hati. Sepertinya, baru kali ini ia benar-benar memahami makna informasi statistik tersebut. Ketika mengejanya dalam hati, entah kenapa kepadatan, kesesakan, dan timbunan manusia yang benar-benar tumpah ruah tanpa pernah berhenti bergejolak, berserakan di seantero Jakarta.

***

Dari daerah Meruya, Kebon Jeruk, sampai Jalan Perjuangan yang lurus membelah daerah Kedoya, Adam tak letih melihat gejolak kehidupan penduduk Jakarta. Angkot, metromini, angkot, sepeda motor, mobil, lalu angkot lagi, semuanya tak luput dijejali makhluk-makhluk kota.

Di mata Adam, semua manusia dan kegiatannya pagi itu terlihat menjemukan, seperti memiliki satu pola dan ritme yang sama-sama membosankan. Satu pola dan ritme yang sadar ataupun tidak, juga dijalaninya selama ini.

Adam diam-diam mengutuki dirinya sendiri. Ia menyesal untuk terlambat keluar secara spontan dari ritme kehidupan monoton itu. Kalau saja ia tahu rasanya terbebas dari ritme dan pola yang membuat manusia tak ubahnya mesin, sejak awal. Entah kenapa ia merasa, bahwa dulu pernah menjadi sekrup kecil di mekanika besar kehidupan Jakarta ini.

Semula ia meragukan dirinya mampu melompat dari lingkaran kehidupan itu tanpa persiapan. Anehnya setelah ia melakukannya tanpa gentar, malah perasaan bahagia yang absurd yang didapatinya. Sampai-sampai ia tersenyum sendiri, mendapati sebersit perasaan asing yang menyenangkan dalam jiwanya.

Disaat semua orang bergerak ke arah dan tujuannya masing-masing. Rasa-rasanya, ia bahagia menentang arus seorang diri. Tanpa tujuan. Kemudian ia mulai bertanya-tanya. Apakah ini yang dimaksud dengan gejolak itu?

"Kenapa gue malah senyum? Kayaknya gue udah mulai enggak waras nih." kata Adam pada dirinya sendiri.

Tanpa disadarinya, ia mulai dijangkiti perasaan kagum terhadap diri sendiri. Sebab merasa mampu melepaskan diri secara mandiri dari satu rantai tak kasat mata yang membelenggunya selama ini. Mungkin juga satu rantai yang sama yang membelenggu sebagian besar para pekerja di Jakarta.

Pada momen-momen itulah, hidupnya terasa benar-benar merupakan sebuah pilihan bagi Adam. Bukan sekedar hidup yang dijalani tanpa makna. Adam berpikir, inikah rasanya sebuah kebebasan itu?

***

"Stop bang stop!" kata Adam pada supir angkot, tepat saat ia melihat halte busway Duri Kepa.

Dalam hatinya ada dorongan yang kuat untuk berkelana sejenak melihat-lihat kesibukan Jakarta dengan menumpang busway. Adam percaya, ini panggilan jiwanya yang paling murni. Entah mengapa Adam merasa tahu, bahwa nantinya jawaban dari semua ini akan ditemukannya di sebuah tempat di sudut metropolitan ini.

Adam kini menyerahkan diri sepenuhnya pada intuisinya. Dengan meninggalkan pekerjaannya secara tiba-tiba, Adam seolah telah membangkitkan insting kemanusiaannya yang paling primitif itu.


LariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang