Yogyakarta 2006

8 1 0
                                    

April 2006 merupakan salah satu periode terpenting dalam hidup Adam. waktu itu ia masih bocah 16 tahun. Pemuda yang ambisius dan terlalu visioner. Kira-kira begitu penilaiannya sendiri pada dirinya yang masih 16 tahun.

Berbekal kenekatan, ia pergi sendiri ke Yogyakarta. Menumpang bus lalu menyebrang selat Jawa. Satu ransel penuh pakaian, serta sepasang sepatu bola hitam bergaris merah dengan merek Lotto, menjadi temannya kabur ke Jawa. Itulah bekalnya selain uang saku yang dikumpulkan sejak SMP kelas satu.

Yogyakarta jadi kota pilihannya, karena di telinga Adam yang kurang pengalaman, kata Yogyakarta sendiri sudah terdengar ramah.

Entah bagaimana ia bisa yakin jika ia bisa meniti karir di Kota Gudeg sebagai pemain bola. Rumput, sepakbola dan Tuhan telah mempertemukan bocah 16 tahun itu dengan seorang supir taksi wanita berusia 45 tahunan di Yogyakarta. Pertemuan yang tak pernah direncanakan dan hanya Tuhan yang tahu rahasia dibalik takdir dua manusia itu.

Kedua manusia itu sama-sama kagum dengan manusia yang ditemuinya. Bocah itu kagum karena menemukan seorang nenek yang tak malu mengemudikan taksi untuk bertahan hidup. Sang nenek dengan dua cucu, sekaligus pengemudi taksi hebat itupun sama kagumnya pada anak muda bau kencur, nekat datang jauh-jauh ke Yogyakarta hanya demi mengejar mimpi menjadi pesepak bola profesional.

Sejak saat itu, Rosalina tidak akan pernah melupakan Adam. Pemuda tanggung yang menghampirinya suatu pagi di bulan April 2006. Awalnya minta diantarkan mencari markas PSS Sleman. Maju sendirian menghadapi pihak manajemen klub untuk diminta diuji hari itu juga, agar bisa masuk skuad. Adam percaya telah dianugrahi kemampuan mengolah si kulit bundar di atas rata-rata pemuda seusianya.

Sayang, Adam keluar dari markas PSS Sleman dengan wajah terkulai sekaligus terkejut menyadari, Rosalina masih menungguinya di luar stadion.

"Apa kata mereka?" tanya Rosalina pada pemuda yang tampak jelas telah kehilangan gairah hidup itu.

"Mereka enggak punya tim U-17." Jawab Adam lemah.

"Lantas?"

"Saya bilang sama mereka, kalau begitu saya mau ikut seleksi skuad senior."

Rosalina terbelalak dan nyaris tertawa, namun akhirnya hanya mengulum senyum, demi berusaha menjaga perasaan anak muda yang telah hancur itu.

"Mereka ngizinin?" tanya Rosalina.

Adam hanya menggeleng lemah. Sambil memandang ujung sepatunya ia berkata. "Mereka bilang sudah bikin skuad baru untuk musim ini. Rata-rata berumur di atas 21 tahun. Mereka enggak percaya kalau di liga tarkam saya biasa main sama orang-orang tua."

Lama kebekuan menggelayut di udara, Adam akhirnya berkata, walau ia malu menyatakannya pada orang lain. " Bahkan mereka ketawa, waktu saya bilang, julukan saya 'Etoo' di lapangan tarkam."

Rosalina tak mampu lagi menahan desakan tawanya waktu itu. Persetan dengan ramah-tamah. Pemuda ini unik bin ajaib, pikirnya waktu itu.

"Ha,,,ha,,,ha,,, Etoo!"

***

Harapan tersisa pada PSIM. Bahkan PSIM Yogyakarta terdengar asing di telinga Adam waktu itu. Rosalina lah yang menawarkan diri untuk mengantar Adam ke PSIM. Gratis tanpa ongkos.

Sedangkan prestasi PSIM sejauh ini, layaknya katrol di kancah persepakbolaan nasional saat itu. Artinya, PSIM muncul tenggelam di antara Divisi Satu dan Liga Indonesia. Tak pernah mampu keluar dari lingkaran setan degradasi dan promosi. Hanya itu yang menjadi prestasi klub yang berkandang di Stadion Mandala Krida tersebut, sejak 1994.

Namun bukan berarti, di klub gurem itu akan mudahnya menerima pemuda bau kencur penuh kenekatan di hapadan mereka. Di sana, lagi-lagi semangat Adam terpatahkan. Mereka tidak menerima seleksi pemain profesional di bawah umur 17 tahun.

"Terlalu muda!" bentak laki-laki dengan tubuh tambun dan mengaku sebagai pelatih kiper di skuad senior PSIM.

"Kalau mau, kamu daftar ikut SSB, setelah 17 tahun baru ikut seleksi skuad senior." saran pelatih kiper tersebut.

"Bapak tidak mengerti, saya datang jauh-jauh, kesempatan saya sekali seumur hidup." kata Adam ngotot dan sebal karena kedatangannya ke Yogyakarta hanya berakhir pada serangkaian wawancara saja.

"Kalau gitu, pulang sana ke kampung. Kalau sudah 17 tahun baru boleh ke sini ikut seleksi. Ikut SSB biar dapat teknik yang benar!" si pelatih kiper tak kalah ngototnya.

"Bapak tahu, SSB sama PSSI itu cuma 'ada' di Jawa!" geram Adam akhirnya.

Seolah dengan menumpahkankekesalannya pada bapak-bapak tambun selaku pelatih kiper di PSIM itu, setaradengan melakukan protes pada petinggi PSSI yang tidak pernah serius mengurussepak bola Indonesia. Apalagi mengurus bibit-bibit sepak bola potensial didaerah-daerah.

LariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang