Bus hampir tiba di tujuannya. Adam dan Qorine pun turun di pasar Cipanas. Namun Adam tahu, perjalanan ini masih cukup jauh. Masih ada satu kendaraan lagi yang harus ditumpangi mereka, menuju tempat yang ingin dikunjungi Adam.
Adam tidak tahu, sampai mana batas fisik Qorine mampu bertahan. Namun dengan bijak ia memilih untuk beristirahat sebentar, sembari mengisi perut di warung makan murah pinggir jalan.
Kemudian setelah dirasa cukup beristirahat, mereka pun melanjutkan lagi menumpang angkot ke kampung Pasir Pogong, persis di bawah kaki gunung Gede. Adam tahu pasti ke mana tujuannya.
"Kita mau ke mana sih Dam?" tanya Qorine.
"Kita mau ketemu para pendekar," jawab Adam sambil tersenyum.
Qorine yang mulai terbiasa dengan gaya Adam yang impulsif dan penuh kejutan itu hanya diam saja. Ia seakan yakin, Adam memiliki jawaban dan rencana-rencana petualangan yang tak terpetakan. Ia tidak ingin merusaknya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menuntut penjelasan terperinci. Itu malah akan merusak romansa perjalanan ini.
Pada akhirnya, Adam mau sedikit berbagi cerita kepada Qorine. Di dalam angkot warna kuning yang penuh sesak dan tertatih-tatih di jalanan menanjak penuh lubang, menuju Pasir Pogong.
Adalah rumah Jaka dan Jaki yang akan ditujunya kali ini. Mereka adalah dua saudara kembar identik, kawan lama Adam. Jaka dan Jaki menghidupi diri dengan bertani sayur-mayur, terutama kol dan sawi. Mereka adalah jenis dari segelintir pemuda yang memilih jalan hidup sederhana. Lebih suka menghindari hingar bingar perkotaan dan memilih untuk menetap di pedesaan.
Sebagian waktu luang mereka, mereka manfaatkan untuk berkelana dan melatih silat di beberapa sekolah di Cianjur. Memang keduanya sejak SMP dikenal sebagai atlet silat. Sempat pula mereka menjadi jawara nasional.
"Maenpo..." terang Adam dengan suara perlahan. "Di sini, pencak silat disebut maenpo."
"Terus, terus..." kata Qorine meminta kisah dilanjutkan.
Maenpo merupakan kosa kata baru bagi Qorine. Tak pernah ia dengar kisah atau nama lain dari silat itu sebelumnya.
"Seni bela diri di Cianjur ini mengakar sangat kuat dari generasi ke generasi. Ada yang bilang, minimal, anak laki-laki Cianjur harus bisa silat," terang Adam sembari menoleh ke kanan dan ke kiri ke rombongan ibu-ibu dan bapak-bapak sesama penumpang angkot.
"Begitu kan pak, bu?" kata Adam mengangguk sopan kepada mereka. Berharap bapak-bapak dan ibu-ibu yang tentunya asli Cianjur itu akan melegitimasi keterangannya.
Bapak-bapak dan ibu-ibu itu pun mengangguk ramah serta tersenyum kepada Adam. Entah semua itu ditujukan untuk membenarkan pernyataan Adam atau justru menertawakan anak muda yang sok tahu itu.
"Jadi enggak aneh kalau di bumi Cianjur ini, masih bisa kita temukan para pendekar-pendekar." lanjut Adam lagi.
Qorine yang mendengarkan cerita Adam pun menjadi melambungkan imajinasinya. Ia membayangkan kawan-kawan Adam yang akan ditemuinya nanti seperti gambaran pendekar di film-film Indonesia era 70-80 an. Bertubuh tegap, berdada bidang, berpundak kekar, berkulit mengkilat bak karamel dengan keringat lengket dihiasi rambut gondrong yang hitam legam.
"Ah,,, masa sih?" ungkap Qorine, mencoba membuyarkan khayalannya sendiri.
"Lah, kalau enggak percaya, tanya saja bapak-bapak dan ibu-ibu yang ada di sini." tunjuk Adam ke seluruh penumpang angkot tersebut.
"Masa sih bu?" tanya Qorine pada seorang ibu-ibu di sampingnya. Ibu-ibu yang ditanyai hanya bisa mengangguk dan melontarkan senyuman yang disembunyikan dengan tangannya.
"Eneng ini kok bule tapi bisa bahasa Indonesia?" tanya si ibu kepada Qorine. Ia tidak tahan lagi untuk tidak penasaran dengan mahluk cantik di sampingnya.
Qorine hanya bisa tersenyum. Karena ternyata bukan keterangan Adam yang membuat seisi angkot riuh oleh kegembiraan. Akan tetapi, orang-orang di sekitarnya merasa lucu saja ketika seseorang tampak asing namun mampu berbahasa Indonesia dengan baik.
"Saya sudah tinggal lama di Indonesia bu." ungkap Qorine pada akhirnya.
"Kalau enggak salah dengar, di daerah sini masih ada pendekar wanita berpusaka kipas sakti ya pak, bu?" tanya Adam ke seluruh penumpang.
***
Keseruan penumpang angkot itu tak habis sampai disitu saja. Kadang-kadang karena medan yang menanjak, beban yang berat, ditambah lagi dengan kerusakan jalan yang parah menuju desa Pasir Pogong, membuat angkot harus berhenti dan terpaksa menurunkan penumpang. Para penumpang pun dengan rela memenuhi permitaan sopir angkot untuk membantu mendorong-dorong bagian belakang angkot. Hal itu dimaksudkan agar angkot mampu menghadapi jalan pegunungan yang begitu buruk itu. Dari situlah timbul kerjasama, keselarasan, dan pamrih di antara para penumpang.
Qorine pun tak segan untuk turut mendorong angkot dengan semangat. Diiringi senyum geli dari wajah-wajah keriput ibu-ibu yang tentunya tak setiap hari menyaksikan bule mau-maunya mendorong-dorong bokong angkot di tempat seterpencil itu.
Lalu akhirnya, setelah satu jam perjalanan seru itu, mereka pun harus turun di ujung kampung. Tepat dua ratus meter dari pintu masuk jalur Putri menuju kedalaman hutan Taman Nasional Gede-Pangrango.
Jaka dan Jaki yang kebetulan baru pulang dari ladang pun terkejut mendapati sahabat lama mereka, Adam, tiba-tiba telah menunggu di muka pintu rumah. Tanpa kabar apapun sebelumnya.
"Kenapa enggak bilang-bilang kalau mau datang kawan?" sambut Jaka sambil menggenggam erat tangan Adam. Begitu pula Jaki yang memiliki paras identik dengan saudaranya itu, ia sumringah dan bahagia sekali dikunjungi kawan lamanya.
![](https://img.wattpad.com/cover/68120261-288-k8554.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lari
Mystery / ThrillerAdam melompat dari hidupnya yang mapan di Jakarta. Lelaki ini terlempar dari rutinitas yang membosankan. Mencoba meraup kebebasan yang ingin diraihnya. Tak disengaja ia bertemu dengan Qorine. Pesohor yang kalut akan konsep kabahagian dalam hidup. Me...