Menjelang sore hari, keempat pemuda-pemudi itu baru saja tiba di alun-alun Surya Kencana. Tempat itu adalah sebuah lembah berkali-kali lipat luasnya daripada satu lapangan sepak bola. Lembah yang diapit dua puncak gunung menghijau. Lembah yang menjadi rumah bagi bunga-bunga edelweis dan rerumputan yang empuk.
Tiba pertama kali di Surya Kencana, Qorine merasakan sensasi bagai berada di negeri dongeng. Qorine tak pernah melihat tempat seindah tempat itu sebelumnya. Seolah Surya Kencana sengaja dikeluarkan begitu saja dari halaman buku cerita negeri dongeng.
Langit yang terbuka di atas lembah Surya Kencana membiru, ditingkahi awan yang berarak dan bergumpal terbawa angin, begitu dekat rasanya. Seakan jarak awan cuma sejengkal saja di atas kepala. Seolah-olah seseorang bisa menggapainya dalam sekali lompat saja.
"Jadi ini yang membuat kalian, para pendaki menyukai gunung?" tanya Qorine dengan nada riang.
"Yap, inilah yang kami cari. Tidak heran bukan kalau merasa begitu bebas?" kata Adam yang berada di samping Qorine sambil merentangkan tangan selebar-lebarnya.
"Ah gue rasanya mau tiduran di atas rumput deh." ungkap Qorine yang kini menanggalkan begitu saja keril mungilnya. Ia langsung berbaring di atas rerumputan. Ia tak peduli matahari yang masih menyengat di udara dan langit terbuka seperti itu.
"I feel free." bisiknya pada dirinya sendiri.
"Hei, ayo Qorine, jangan lama-lama. Lu belum nyobain sumber air pegunungan kan?" kata Adam yang berdiri dan menghalangi sinar matahari di atas Qorine.
"Lu tuh, gangguin imaji gue aja." ketus Qorine.
"Kita udah ditinggalin Jaki sama Jaka tuh."
Dengan malas Qorine berdiri dari posisi telentangnya. Tanpa diminta, Adam membantu Qorine untuk berdiri dengan cara menarik tangan gadis itu dengan lembut namun kokoh.
"Kenapa edelweiss-edelweiss ini enggak boleh dipetik?" tanya Qorine yang kini sudah berjalan kembali.
"Ini rumah mereka. Mereka tidak bisa hidup selain di rumah mereka."
"Loh bukankah mereka abadi?"
"Tak ada mahluk hidup yang Abadi Qorine, setiap yang hidup pasti mati juga." ungkap Adam datar.
Qorine menatap bunga cantik yang hanya bisa ditemukan di ketinggian tertentu itu. Bunga penanda bagi para pendaki bahwa mereka sudah dekat dengan puncak gunung. Bunga yang selalu menyemangati pendaki yang lelah, karena hanya dengan memancarkan kecantikannya yang sederhana saja, telah membuat setengah beban perjalanan menjadi ringan. Bunga yang mengandung makna mistikus.
Dari kejauhan, Jaka dan Jaki terlihat sudah berada di sumber air alun-alun Surya Kencana. Para pendaki pun terlihat sudah ada yang mendirikan tenda di sekitar tempat itu. Warna-warni tenda pendaki bagai jamur menyembul dari atas tanah.
Sayup tawa dan celotehan girang terdengar di mana-mana. Mereka semua seakan melepaskan lelahnya dengan menikmati sajian pemandangan alun-alun Surya Kencana.
Di antara mereka ada yang sedang nikmat menyeruput kopi panas dari gelas aluminium. Beberapa tidak ragu untuk menyapa yang baru tiba walau tak saling mengenal sekalipun. Pendaki wanita juga banyak yang ikut nimbrung.
Jaka dan Jaki sendiri menggelar matras dan mengeluarkan segala peralatan untuk memasak. Botol-botol air yang kosong mereka isi kembali dengan air dari sungai kecil yang mengalir perlahan dan jernih di dekat mereka. Air gunung ketika disentuh terasa dingin sekali, seperti baru saja keluar dari lemari pendingin.
"Mau coba?" tawar Jaki.
Qorine yang memang cukup haus pun langsung menerima air itu. Ini pertama kalinya ia menikmati air pegunungan mentah-mentah, walau mentah, warnanya yang jernih cukup meyakinkan untuk langsung dikonsumsi. Tegukan pertama adalah tegukan percobaan. Lama Qorine mengingat rasa air mineral asli dan alami tersebut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lari
Misterio / SuspensoAdam melompat dari hidupnya yang mapan di Jakarta. Lelaki ini terlempar dari rutinitas yang membosankan. Mencoba meraup kebebasan yang ingin diraihnya. Tak disengaja ia bertemu dengan Qorine. Pesohor yang kalut akan konsep kabahagian dalam hidup. Me...