Hermansyah, si Satpam, bingung dengan pertanyaan semacam itu. Tidak biasanya seorang wartawan menanyakan persoalan sampah. Logika Herman tidak mampu mengaitkan profesi wartawan dengan sampah. Bahkan Herman tidak tahu apa perlunya hal itu bagi pemberitaan media.
"Untuk apa?" tanya Hermansyah akhirnya balik bertanya, dengan ekspresi muka yang benar-benar keheranan.
Tidak mudah untuk mendapatkan sekedar sekantong pelastik besar sampah dari rumah Qorine. Butuh penjelasan logis dan sogokan beberapa lembar uang untuk itu. Dinggo sampai mengarang cerita jika ia dipaksa atasannya untuk mengumpulkan bukti, bagaimana pun caranya.
"Saya benar-benar lagi ditekan bos saya mas." kata Dinggo memelas.
"Tadi saya kepikiran sebelum mau balik. Biasanya orang kabur, mau hilang, atau bunuh diri ninggalin surat curhat-curhatan gitu."
"Terus kenapa mas cari bak sampah?"
Latar belakang untuk menguatkan alasan sudah kuat. Herman, tampaknya makin larut dengan rasa penasarannya sendiri, karena belum menemukan benang merah di antara keterangan dan keinginan Dinggo. Umpan Dinggo termakan mentah-mentah. Saatnya bagi Dinggo untuk menyentakkan kailnya agar mata pancing menyangkut di bibir ikan.
"Mungkin Qorine sebenarnya sempat nulis uneg-unegnya sebelum pergi, tapi tidak pernah ketemu karena kertasnya dibuang ke tempat sampah." kata Dinggo meyakinkan sang petugas keamanan.
Tatapan mata Dinggo menatap ke kedalaman mata Herman yang pupilnya mulai membesar karena gairah keingin tahuannya telah terjawab. Hermansyah pun hanya bisa mengangguk, mencoba menyelami alasan Dinggo yang terdengar cukup logis. Herman sendiri tidak menyangkal jika dalam pemberitaan yang sempat ia baca belakangan ini, hal-hal macam surat-surat terakhir itu kerap jadi bukti. Akan tetapi, bagai ikan yang dipancing, Herman belum sepenuhnya menyerah pada pendiriannya. Dinggo harus membuat ikan itu kepayahan dan lunglai kehabisan tenaga. Akan tetapi Herman tentu saja bukan ikan.
"Terus kalau memang ada yang kayak gitu, buat apa mas?" tanya Herman.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Herman bukan ikan yang mudah menyerah, ia masih meronta-ronta dengan sisa tenaganya. Mempertahankan dirinya agar tidak mudah dipancing Dinggo.
"Itu bisa jadi berita besar buat media. Kalau saya nemu yang kayak gitu, saya bisa nulis cerita besar di koran. Belum ada beritanya kan kalau Qorine ninggalin surat? Eeee,,, atau ada wartawan lain yang sudah nyari bak sampah rumah Qorine?" tanya Dinggo.
Dinggo tahu, sedikit lagi, si Herman ini akan kehabisan tenaga, tinggal satu sentakan dan Dinggo pun mengeluarkan jurus terakhirnya. Dua lembar 50 ribuan akhirnya dikeluarkan dari kantong. Itu tentu sudah disiapkan dari awal untuk mempermudah hal-hal semacam ini.
"Cuma sekantong sampah. Enggak akan kenapa-kenapa kok mas." bujuk Dinggo.
Hanya sekedar sampah. Itu pula yang dipikirkan Herman dan ia akan mengantongi uang rokok yang lumayan jumlahnya, walaupun harus dibagi lagi dengan petugas kebersihan.
"Kalau bisa ditambahin lah mas, buat tukang sampahnya." tawar Herman sambil tersenyum dan sudah setengah jalan menghubungi petugas kebersihan komplek melalui walkie talkie-nya.
Tanpa ragu-ragu Dinggo merogoh kembali selembar 50 ribuan dari dalam dompetnya sambil diiringi kalimat.
"Oh, ya, maaf saya lupa." Dinggo pura-pura menepuk jidat.
"Ini buat petugas kebersihannya." tutup Dinggo sambil mengangsurkan sogokan itu.
***
Tentu Dinggo tidak berharap akan menemukan catatan dramatis dari Qorine, seperti cerita yang dikarangnya untuk Herman siang tadi. Namun Dinggo merupakan salah satu orang yang percaya, jika sampah satu orang bisa jadi harta bagi orang lain.
Di rumahnya, dengan menggunakan masker dan sarung tangan plastik, ia merogoh ke dalam plastik sampah hitam dari rumah Qorine. Sebelum ia membawa karung plastik sampah itu, ia sudah pastikan kepada Herman dan petugas sampah, jika semua sampah yang ada di rumah Qorine ada di dalam sana. Sampah yang terkumpul mulai kemarin hingga hari ini, tanpa sisa sececer pun.
Sebagai detektif, dengan sampah rumah tangga di hadapannya, ia akan tahu apa-apa saja yang terjadi di dapur, di kamar, bahkan di toilet rumah Qorine dalam 48 jam terakhir ini. Logika sederhana ini jarang diketahui oleh orang-orang awam.
Tentunya Sampah dapur mendominasi. Aktivitas paling dominan dalam manusia selama 24 jam, makan dan minum. Sampah-sampah semacam ini biasanya becek, lengket dan nyaris busuk. Diikuti kemudian dengan sampah kertas dan debu-debu menggumpal dari vacum cleaner. Semua tercampur menjadi satu. Lembab, busuk, menjijikkan dan terlihat tidak berguna.
Namun dengan hati-hati Dinggo memilah-milih sampah yang menurutnya berguna bagi investigasinya. Terutama sampah kertas. Dari situ ia akhirnya menemukan fakta bahwa Qorine melakukan belanja fashion yang cukup banyak sehari sebelum ia pergi.
Lebih spesifik lagi, Qorine melakukan pengeluaran yang cukup besar untuk perangkat outdoor. Tas keril, matras, head lamp, karabiner, tali-temali, sepatu dan sendal hiking, belum lagi jaket gunung dan pernak-pernik lainnya, semua dibeli bersamaan dalam satu waktu.
"Apa orang ini mau hiking atau panjat tebing?" gumam Dinggo pada dirinya sendiri.
Dinggo berharap jika tanda pembayaran tersebut tertera nama Qorine di bawahnya, hanya untuk mempermudah sekaligus memperjelas penyelidikannya. Sampai akhirnya ia menemukan tanda bukti pembayaran menggunakan kartu debit.
"Rupanya ia sedang tidak bawa banyak cash." kata Dinggo lagi pada dirinya sendiri. Dinggo kini tersenyum dan memasukkan semua bukti itu ke dalam kantong plastik kecil transparan dengan hati-hati. Seakan sampah itu barang antik yang baru saja diselamatkan dari reruntuhan kuil bersejarah.
Hal selanjutnya yang Dinggo ingin lakukan saat itu adalah check and recheck. Ia mulai sibuk menelepon toko-toko outdoor yang Qorine kunjungi kurun waktu 48 jam belakangan ini. Alamat dan nomor telepon tentunya ia dapatkan dari bukti pembayaran yang ditemukannya. Selain itu ia menghubungi pihak Bank, untuk memastikan saldo Qorine berkurang di rekeningnya, tepat pada waktu yang tertera dalam kuwitansi pembayaran yang kini ada di tangan Dinggo.
Untuk itu, Dinggo harus mengontak relasi lamanya yang kebetulan memiliki jabatan di Bank tempat Qorine menyimpan uangnya. Seorang mantan klien Dinggo yang puas dengan hasil kerja Dinggo. Tentunya mantan klien sekaligus petinggi Bank swasta itu sangat antusias membantu Dinggo dalam penyeledikannya kali ini. Apalagi ia tahu ternyata Dinggo sedang menyelidiki kasus hilangnya Qorine Saraswati.
Terakhir, Dinggo melacak tujuan Qorine dengan menghubungi perusahaan jasa taksi yang dipakainya terakhir kali. Dinggo terpaksa mengaku sebagai pihak berwenang untuk mendapatkan informasi ini. Walau terbilang cukup sulit untuk mendapatkannya, namun Dinggo akhirnya tahu ternyata Qorine menuju ke terminal Rambutan pagi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lari
Mystery / ThrillerAdam melompat dari hidupnya yang mapan di Jakarta. Lelaki ini terlempar dari rutinitas yang membosankan. Mencoba meraup kebebasan yang ingin diraihnya. Tak disengaja ia bertemu dengan Qorine. Pesohor yang kalut akan konsep kabahagian dalam hidup. Me...