Menghadapi Si Om

17 1 0
                                    


Satu hal yang tidak pernah diketahui Adam. Akses yang sama yang ia pilih, merupakan bagian dari rencana pelarian si Om. Bukan tanpa alasan si Om memilih rumah itu sebagai markasnya. Kompleks perumahan yang padat, membuat tembok-tembok rumah jadi berdempetan satu sama lain. Tidak heran jika banyak genting rumah tetangga seolah terlihat seperti jembatan rahasia yang bisa dititi ataupun disebrangi hanya dalam sekali lompat. Apalagi tetangga-tetangga seputar kompleks perumahan tidak terlalu perduli dengan urusan orang lain. Dengan kata lain, Ia sudah punya skema pelarian yang cukup matang sejak pertama kali menentukan markasnya hampir lima tahun yang lalu.

Namun yang tidak pernah diketahui si Om, ia tidak akan memperhitungkan akan bertemu anak muda nekat bernama Adam di atas genting yang menghubungkan markasnya dengan jendela lantai dua rumah tetangganya, jalur pelariannya yang cukup tersembunyi.

Diterpa angin dingin khas pagi hari yang menusuk tulang. Si Om berdiri kaku di titian kecil genting itu. Menghadapi pemuda tanpa senjata di hadapannya, ekspresi terkejut tak mampu disembunyikan si Om.

Tanpa pikir panjang, si Om mengarahkan senjatanya ke arah Adam. Mulutnya seperti ditarik kail. Sesungging senyum meremehkan, terbersit sebelum suara. "Dorrrr!" meletus memecahkan gendang telinga.

********

Qorine terbangun dan mendapati dirinya terbaring di atas kasur berbalut seprai putih. Ruangan tempatnya tergeletak pun serba putih. Bau amoniak yang tajam menyerang indra penciumannya. Bau yang familiar dan selalu mengingatkan Qorine pada rumah sakit ataupun klinik. Dilihatnya, ada selang impus menusuk uratnya di bagian pergelangan tangan sebelah kiri. Keadaan sepi dan tenang seolah bersekongkol untuk menyembunyikan satu cerita, mengapa ia bisa berada di tempat itu.

Pintu kamar tempatnya dirawat terbuka dengan sangat perlahan. Seorang laki-laki dengan roman muka yang dikenalnya hadir. Ia ingat betul laki-laki itu, tapi dalam busana yang jauh lebih kasar dan lebih jantan daripada jubah dokter yang dipakainya kali ini. Laki-laki itu jadi terlihat konyol dengan balutan jubah putih yang membungkus tubuhnya hingga menyentuh ujung dengkulnya. Sebuah stetoskop tergantung di depan dada laki-laki itu.

Laki-laki itu duduk di samping Qorine. Tepat di kursi yang berada di samping bangsal Qorine. Dokter dengan raut wajah yang keras dan tegas itu dengan serius dan lagak profesional meninjau kondisi kesehatan Qorine.

Qorine menatap nanar pada sang dokter. Seolah tidak percaya dengan pengelihatannya sendiri. "Apa yang terjadi dengan Adam?" tanya Qorine akhirnya. Ia sendiri tidak tahan dengan semua misteri ini.

Sang dokter hanya memiringkan kepalanya sedikit, memicingkan mata dan mengatupkan rahang. Seakan-akan ia tak memahami apa yang dipertanyakan Qorine.

"Adam?" tanya dokter itu kembali. "Siapa yang Anda maksudkan?"

"Di mana dia, apa yang terjadi dengannya?"

******

Adam memejamkan mata dan hanya gelap yang menjadi visinya saat itu. Ia sudah pasrah menemui ajalnya. Bekas lengkingan senjata si Om masih menyisakan denking aneh dalam gendang telinganya. Lama ia menunggu tubuhnya menghantam tanah dan merasakan rasa sakit tak terperi. Ia pikir, kini ia sedang melayang-layang di udara sebelum terjatuh dari ketinggian beberapa meter. Namun setelah ditunggu beberapa lama, tidak terjadi apapun dengan dirinya.

Ia beranikan diri untuk membuka mata. Mencari tahu sudah sejauh mana ia berjalan di dunia orang mati. Akan tetapi ia masih mendapati dirinya di sana. Di titian genting sempit dan tak bergerak seinci pun dari posisi awalnya. Hanya saja lututnya gemetaran, ditingkahi keringat dingin mengucur deras dari tubuhnya.

LariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang