Operasi Besar-Besaran

9 1 0
                                    


Angkot warna kuning itu akhirnya berhenti di pertigaan pasar Cipanas. Penumpangnya turun dengan tergesa-gesa. Rombongan Angga berpamitan dengan Adam dan kawan-kawan, lalu mereka langsung mencari warung untuk menggelar operasi selanjutnya. Kelompok Adam sendiri malah pergi menyambung angkutan lain menuju terminal Cianjur.

Tanpa mereka sadari, jika ada sekelompok orang yang membuntuti mereka dengan sepeda motor, sejak mereka masuk angkot menuju terminal Cianjur.

Sedangkan Angga dan kawan-kawannya segera saja menggelar laptop, mencolok peralatan-peralatan yang bisa menyambungkan mereka dengan jaringan internet. Mencabut memori kecil dari kamera tersembunyi berbentuk bolpoin tersebut dan serta-merta membenamkannya ke dalam laptop. Setelah itu mereka melihat sendiri hasil jepretan yang berjumlah hampir 20 biji foto Qorine yang berhasil merek tangkap.

Dipilihnya foto Qorine yang paling jelas, lalu mereka kirimkan melalui e-mail ke kantor pusat perusahaan detektif investigasi mereka di Jakarta. Subjek email berjudul ; Bukti Foto, diiringi pesan singkat berbunyi :

Saat ini Kapten dan tim yang dipimpinnya sedang membuntuti Qorine. Kirim bukti foto kepada klien. Pesan Kapten, usahakan agar klien mau mengeluarkan Down Payment misi kali ini. Dikirim ke rekening perusahaan. Dua puluh lima juta, tidak bisa kurang. PS : Kemungkinan besar, perburuan dilanjutkan sampai Bandung.

Tak butuh waktu lama, analis yang bertugas di kantor pusat pun menerima pesan elektronik dari agen lapangan. Setelah mencetak foto Qorine, ia pun segera keluar dari ruangan berukuran satu kali dua meter tersebut. Pintu dari besi berwarna putih itupun digesernya hingga terbuka, sehingga cahaya menerobos masuk secara tiba-tiba menerangi ruangan belakang mobil mini bus yang dijadikan kantor berjalan.

Interior mini bus itu sendiri tea disulap menjadi sebuah ruang kontrol bagi seorang analis wanita yang dipekerjakan Dinggo.

Analis itu pun sigap mengenakan baju kemeja berlengan pendek berwarna biru tua. Tak lupa ia menutup pintu kantornya. Kini ia berjalan menuju ruang kemudi.

"Blammm...!" suara pintu depan dibanting dengan tergesa-gesa.

Mesin mobil dihidupkan sedikit kasar. Pedal gas diinjak cukup dalam oleh kaki jenjang sang analis wanita itu, Tangan kirinya pun menurunkan rem tangan dengan cekatan. Setelah menggerakkan tuas persneling, wajahnya menoleh sebentar ke spion kanan mobil dan sesegera mungkin menggerakkan laju mini bus itu. Siapa sangka, ruang kontrol misi detektif investigasi paling berpengalaman di Jakarta adalah sebuah mobi yang kerap keluar masuk basement parkir pusat-pusat perbelanjaan metropolitan.

Memasuki jalan raya, mobil mini bus yang dikendarai wanita bergaris wajah tegas, menunjukkan ekspresi yang dingin, dan tak banyak bicara itu pun membawa kendaraanya membaur dengan kendaraan lain di jalanan ibu kota. Tujuannya menuju ke daerah Sudirman, ke sebuah kantor manejemen modeling, tempat Qorine bernanung. Tempat kakaknya berperan sebagai menejer, dan kini sedang kebingungan dengan kehilangan adik serta artis paling potensialnya.

***

Jaka, Jaki, Adam, dan Qorine tiba di terminal Cianjur. Begitu pula dengan para pembuntutnya yang mengendarai sepeda motor. Mereka semuanya menunggu bus ekonomi menuju Bandung di pinggir jalan raya. Begitu pula dengan ketiga pemburunya yang pura-pura membeli minuman dingin di kios dekat-dekat situ.

"Terima kasih Jak, kayaknya cukup sampai di sini kalian nganterin kita. Kebaikan kalian semua udah enggak bisa aku balas lagi."

"Ah, apaan sih kamu ini, teman harusnya gitu kan Dam?" sergah Jaka.

"Terima kasih, karena aku bisa ketemu kalian. Petualangan ini enggak bakalan aku lupain seumur hidup." ungkap Qorine sambil menyalami kedua saudara kembar tersebut.

Jaka dan Jaki pun menerima salam Qorine dengan kedua tangan menggenggam erat. Tak habis sampai di sana, mereka pun menciumi bekas jabatan erat tangan Qorine di tangan mereka. Ini tentunya tingkah komikal yang cukup klise.

"Ih, apaan sih Jak, norak tahu!" kata Qorine yang menjadi malu akibat tingkah konyol kedua sahabatnya.

"Namanya juga orang kampung, enggak setiap hari kan bisa salaman sama artis. Iya enggak bang?" kata Jaki sambil melirik Jaka, ditingkahi cengiran lebar.

"Yoi, norak dikit enggak apa-apalah. Yang penting, hemmm,,, harum." Kata Jaka sambil terpejam dan lagi-lagi membaui bekas tangan Qorine di tangannya, seolah bau tangan Qorine terus menempel di sana tak lekang oleh waktu.

Bagai petir disiang bolong, tanpa persiapan apapun, Jaka pun akhirnya menerima dengan pasrah pelukan tiba-tiba dari Qorine. Begitu juga dengan Jaki yang lebih siap menerima pelukan perpisahan itu dengan riang gembira.

"Alhamdulilah!" kata Jaki dengan girangnya menyambut pelukan Qorine sambil nyengir lebar.

"Kalian itu udah jadi sahabat gue sekarang. Jadi, jangan lihat status gue seorang artis lagi ya?" pinta Qorine sambil tersenyum kepada kedua pemuda bersahaja itu.

"Hati-hati di jalan ya neng, kalau Adam gangguin eneng, sebut nama kita tiga kali. He,he,he,"

"Udah ah, kelamaan, itu busnya udah datang."

Adam pun berpelukan juga dengan kedua sahabatnya tersebut, genggaman tangan mereka terkait erat satu sama lainnya. Terakhir mereka saling menepuk pundak sambil berucap."Hati-hati bro!"

Adam dan Qorine pun melompat sigap ke pintu bus ekonomi Cianjur-Bandung yang berjalan pelan-pelan saat menjemput penumpang. Di balik jendela bus mereka masih bisa melihat Jaka dan Jaki berdiri di pinggir jalan. Menatap kepergian sahabat mereka untuk terakhir kalinya.

Dilain sisi, Dinggo pun sudah menyalakan kembali motor sport berbadan besar kesayangannya. Diikuti pula dengan para agen-agennya. Tak berselang lama, tiga motor tersebut pun membuntuti bus Adam dan Qorine yang mulai melaju.

Jaka yang memperhatikan ketiga kendaraan hitam-hitam yang melaju sepintas lalu di hadapan mereka pun sedikit curiga.

"Jak!" katanya sambil mencengkram lengan Jaki yang hendak berbalik.

"Apaan?"

"Kamu ingat enggak, pernahlihat di mana tiga motor itu?"

LariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang