Ada seonggok keril merah di pojok kamar kos Adam. Keril merah 75 liter itu terselubung debu tipis. Sudah hampir dua tahun lamanya Adam tidak pernah berkelana lagi. Padahal dulunya Adam sangat suka memanggul keril merah itu ke mana-mana.
Adam mendekati keril merah yang nyaris terlupakan itu. Saat ia menyentuhnya, romansa petualangan tiba-tiba nampak jelas di benaknya.
Sambil mengusap debu yang menempel di permukaan keril merahnya, Adam kembali mengingat-ingat salah satu petualangannya, di satu gunung yang sunyi.
***
Kabut menyelimuti tubuh gunung Butak. Sebuah gunung sunyi di barisan pegunungan putri tidur, Jawa Timur. Jarang ada petualang yang mendaki ke tempat itu. Karena namanya tak semegah gunung lain di Jawa Timur, seperti Arjuna, Welirang, atau bahkan Semeru. Justru karena jarang yang mendaki, hutannya masih sangat perawan. Kanopi pohon-pohon tua berbatang besar menutupi tanahnya. Tidak heran bila banyak lintah yang bersembunyi di sela-sela tanah, akar, dan batang pohon lembab. Hewan itu siap menghisap darah mahluk manapun yang ditempelinya.
"Ah! itu di betismu besar sekali! Ha,,ha,,ha,,ha,," teriak Harun pada Danu. Ia melihat satu lintah menghisap dengan rakus darah di bagian betis Danu.
Buru-buru Harun menyedot rokok kreteknya, lalu menyemburkan asap nikotinnya pada lintah rakus itu. Sayang, lintah berbadan cokelat tua dan gemuk itu tidak mau lepas dari situ. Rupa-rupanya ia belum kenyang menghisap darah Danu.
"Aku colok pakai rokok ya!" tambah Harun ke Danu.
"Jangan mas! Entar salah sundut gimana?"
"Enggak lah. Percaya aja sama aku. Daripada kamu kurus kering kekurangan darah," sergah Harun.
"Enggak mas, jang,,," belum selesai Danu berkata-kata, tangannya dibekap Adam dari belakang. Mata Danu sendiri ditutup oleh Toni. Sedangkan kakinya dijepit oleh Harun.
Entah kapan Adam, Toni, dan Harun main mata. Tanpa aba-aba, mereka seperti sudah tahu harus melakukan apa. Sedangkan Harun sibuk menyundut lintah di betis Danu yang menyedot habis darah Danu.
"Udah Run, kalau enggak mampu sama rokokmu, pakai belati aja!" teriak Adam di telinga Danu. Walau kedengarannya serius, tapi kata-kata itu sebenarnya hanya bercanda saja.
"Jancuk! Jangan mas! Aku enggak mau jadi buntung!"
"Asu! Meneng koen! Koen Pengen pulang selamet enggak?" teriak Toni, makin menambah ketegangan.
"Ampun Mas!" teriak Danu sekencang-kencangnya di tengah belantara sunyi itu. Teriakan kerasnya nyaris tak bermakna. Karena tidak ada manusia lain di hutan belantara itu yang mendengar, selain tiga lelaki beringas itu.
Danu akhirnya dilepaskan oleh tiga kawannya. Sesaat setelah lintah di betisnya berhasil lepas dengan cara disundut oleh rokok kretek Harun. Lintah itu menggeliat di sela-sela jari Harun. Daya hidupnya terbilang cukup tangguh. Padahal bara rokok kretek Harun sangatlah panas.
"Nih Nu, gede khan? Udah sedot balik darahmu yang hilang!" goda Harun pada Danu. Tangannya yang memegang lintah pun disodorkan sedekat mungin ke wajah Danu.
"Hiii,,, jangan mas. Buang aja!"
"Makanya, pakai celana panjangmu sana!" perintah Adam pada Danu.
"Sekarang mas?" tanya Danu.
"Iya sekarang!" perintah Adam.
Danu sebenarnya malas untuk mengganti celana di tengah hutan rimba itu. Apalagi harus merogoh isi kerilnya, mencari celana panjangnya, lalu merapikan kembali isi kerilnya. Namun Adam sudah memerintahkannya dengan serius. Itu berarti tidak bisa ditawar lagi. Ia pun bergegas mencari tempat yang rimbun untuk berganti celana.
"Jangan jauh-jauh!" teriak Adam, saat Danu mulai ditelan belukar.
"Hati-hati! Salah-salah, nanti barangmu yang kena lintah. Mau kamu disundut lagi?" tambah Harun diikuti gelak tawa ketiga kawannya yang bergemuruh.
***
Adam tersadar dari lamunannya. Ia tak ingin larut dengan kisah-kisah lama. Ia pun segera mengecek keril tuanya yang terlantar. Ia mengangkat-angkat kerilnya ke udara dan memeriksa tali-temali, sabuk, pengaman dan hal-hal penting lainnya. Semua terlihat masih sempurna.
Adam juga memeriksa perlengkapan hiking lamanya seperti, tenda, sleeping bag, matras, sepatu boot, alat-alat survival, P3K, dan perintilan yang lain. Ada pancaran semangat yang keluar dari dalam diri Adam, ketika memeriksa benda-benda tersebut. Benda-benda yang ditemukannya dalam kondisi prima. Masih berguna dan cukup kuat untuk kembali diajak melangkah menyusuri jalanan.
Kini, betapa ia merindukan dinginnya pegunungan, momen-momen saat matahari menyembul dari balik horizon cakrawala, cerewetnya kicauan burung-burung di pagi hari, atau tarian sunyi bintang gemintang di atas panggung langit malam. Ia seakan merasa bersalah telah menampikkan panggilan hatinya yang paling dalam selama ini, yakni bertualang!
Adam jadi sedikit terharu, karena tidak percaya pada keberaniannya sendiri untuk kembali menjajaki alam liar. Sempat terpikir olehnya, bahwa ia akan membusuk di Jakarta. Ia kira, ia akan berakhir menjadi kelas pekerja, mengejar karir, lalu menemukan seorang wanita yang akan menjadi istrinya. Kemudian hidupnya akan dihabiskan untuk membangun keluarga.
Adam tertawa pada dirinya sendiri, karena sempat kepikiran skenario hidup seperti itu. Bagi Adam, justru hidup yang benar-benar diinginkannya saat ini adalah yang penuh resiko. Justru ia tidak ingin menentukan sendiri skenario hidupnya. Kehidupan yang benar-benar hidup, adalah yang tak mudah untuk ditebak. Singkatnya ia ingin menyerahkan skenario hidupnya pada penulis naskah terbaik di alam semesta ini. Tuhan dan takdir yang dijanjikannya.
Adam pun memeluk keril tuanya dengan erat, di sela-sela mengenang perjalanannya yang singkat ke seantero pelosok pulau Jawa.
"Ke mana lagi kalian berkelana kawan-kawan, apakah kalian masih mengingatku? atau kalian juga terpenjara dalam kubikel sempit, lalu menanggalkan keril-keril kalian juga?"gumam Adam dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lari
Mystery / ThrillerAdam melompat dari hidupnya yang mapan di Jakarta. Lelaki ini terlempar dari rutinitas yang membosankan. Mencoba meraup kebebasan yang ingin diraihnya. Tak disengaja ia bertemu dengan Qorine. Pesohor yang kalut akan konsep kabahagian dalam hidup. Me...