Sampah Satu Orang Adalah Harta Bagi Orang Lain

43 3 0
                                    


Kawasan Kemang panas sekali siang itu. Beruntung di kawasan perumahan elit tersebut masih ada ruang-ruang hijau. Rumah-rumah bergaya mediterania bertingkat-tingkat tampak gagah terlihat dari balik pagar. Pohon-pohon dengan daunnya yang hijau begitu menyejukan di tengah gersangnya kota Jakarta yang saban hari terpanggang panasnya hawa mentari.

Di kawasan perumahan daerah Kemang itulah, Dinggo tertahan di pintu masuk perumahan elit. Tepatnya ia tak diizinkan masuk oleh Satpam komplek. Pasalnya, pos tersebut satu-satunya akses keluar masuk di perumahan tersebut. Dinggo tahu dari jaringan kawan-kawan wartawannya, bahwa komplek itu adalah rumah Qorine. Dengan maksud menembus ke daerah itu, ia pun mengaku sebagai wartawan pada dua Satpam yang berjaga di sana. Tidak mungkin ia mengaku polisi atau detektif, walaupun sesungguhnya ia ingin sesekali dengan bangga menyebutkan profesinya itu.

"Saya kemari mau mencari informasi mengenai hilangnya Qorine." terang Dinggo pada salah satu Satpam yang memasang tampang curiga.

Memang semenjak Dinggo datang, sang Satpam bagai mesin pemindai. Terhitung sudah dua kali sang Satpam mengamat-amati Dinggo dari ujung kaki hingga ujung kepalanya.

"Tadi mas bilang dari media mana?" tanya Satpam lagi. Seolah-olah ia tidak benar-benar menaruh perhatian penuh pada keterangan makhluk di hadapannya.

"Saya dari megabintang.com pak." kata Dinggo seraya memperlihatkan kartu pers palsu buatannya sendiri kepada satpam tersebut.

Sementara sang Satpam mengamat-amati kartu pengenal Dinggo dan mungkin tengah berpikir keras, menimbang keputusannya, apakah akan memberi lelaki itu akses masuk atau tidak? Sejak kemarin telah banyak sekali wartawan yang datang ke komplek tersebut untuk mencari informasi mengenai Qorine. Hal yang membuat Satpam komplek yang penuh kecurigaan itu, segera saja jenuh dengan macam makhluk seperti Dinggo ini, maksudnya para pemburu berita.

"Ngomong-ngomong, apa ini satu-satunya akses keluar masuk menuju komplek perumahan ini mas?" tanya Dinggo, mencoba mengalihkan perhatian Satpam pada kartu pers abal-abalnya. 

Bertanya adalah trik dasar untuk mengalihkan perhatian seseorang dari kartu identitas palsu. Agar mereka tidak melihat terlalu detail dan menemukan keanehan pada kartu pengenal yang sebenarnya telah dibuat secermat mungkin oleh Dinggo untuk menghindari kecurigaan.

"Ya ini satu-satunya jalan keluar masuk." ujar sang Satpam datar-datar saja. Kini perhatiannya beralih kembali pada Dinggo yang masih berdiri di hadapannya.

"Kalau begitu, mas tahu siapa saja yang keluar masuk perumahan ini selama 24 jam." tanya Dinggo yang kini telah mengeluarkan catatan kecil dan bolpoin, lagaknya seperti wartawan tulen. Akan tetapi sebagai detektif, ia juga membutuhkan catatan tertentu.

"Betul." ungkap satpam yang kini lebih tertarik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Dinggo. 

Melihat Dinggo mengeluarkan bolpoin dan kertas macam wartawan asli, keraguannya sedikit berkurang. Bahkan mungkin berharap, keterangannya nanti akan masuk ke dalam artikel pemberitaan. Sukur-sukur Dinggo mau memfoto dan mempublikasikannya di media. Tanpa berpikir lagi ia menyerahkan kembali kartu pers palsu milik Dinggo.

"Jadi, mas sempat melihat Qorine pergi ke luar komplek?"

"Ya, dia pergi pakai taksi pagi-pagi. Sekitar jam enam atau jam tujuh lah."

"Tujuannya?"

"Saya enggak tahu. Itu bukan urusan saya."

"Kalau boleh tahu, taksi apa yang digunakan?"

"Burung Biru."

"Mas catat enggak nomor taksinya?"

"Wah enggak sampai ke sana pikiran saya mas. Tapi kalau ada kendaraan yang bukan milik penghuni pribadi komplek sini, kami tanyakan keperluannya apa, mau ke mana, mau jemput siapa? Begitu."

"Terus? Tahu darimana taksi itu pesanan Qorine?"

"Ya kan sopirnya bilang mas. Karena pesanan penghuni komplek, ya saya jadi tahu kalau taksi itu mau jemput mbak Qorine."

"Hemmm, begitu." gumam Dinggo, sebelum melanjutkan pertanyaannya. "Apa saya boleh mewawancarai orang-orang rumah mbak Qorine?"

"Apa mas ini sudah punya janji sebelum-sebelumnya?"

"Belum." ujar Dinggo terus terang.

"Wartawan-wartawan yang lain biasanya sudah ada janji wawancara sebelumnya. Jadi mohon maaf kalau saya enggak izinin mas masuk, atas alasan keamanan."

Dinggo tampak kecewa dengan hal itu. Memang semuanya serba spontan. Sehingga ia tidak menyiapkan segalanya dengan rapi. Padahal ada satu tujuan tersembunyi di balik semua ini. Mungkin sedikit tidak lazim dan tujuan itu harus dipenuhi saat itu juga. Kalau tidak, bukti apapun yang dikejarnya saat ini akan segera lenyap esok harinya.

"Oke mas kalau begitu. Terima kasih atas infonya." ujar Dinggo yang langsung menyela kembali motornya. Namun tak sampai jauh ia berlalu, hanya lima meter saja jaraknya dari pos Satpam, ia kembali menghentikan kendaraannya.

Setelah mematikan mesin motor dan dengan cepat menyandarkan motornya di tepi jalan. Dinggo kembali berjalan ke arah pos satpam dengan ekspresi seolah-olah ada yang tertinggal. Langkahnya terburu-buru dan dalam hatinya ia meyakin-yakinkan dirinya, bahwa strateginya ini akan berhasil.

"Ada apa lagi mas?" tanya satpam yang teridentifikasi bernama Hermansyah dari tag di atas kantong kanan seragamnya itu.

"Jadi begini mas Herman, saya mau tanya, apa ada petugas kebersihan yang keliling mengangkut sampah di komplek perumahan ini?"

LariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang