Bila tidak akan menarik perhatian orang banyak, Qorine bersedia untuk berteriak seketika itu juga. Ingatannya tentang Adam berhasil ia temukan setelah beberapa jenak. Itu seperti menemukan sekotak kecil barang antik yang berdebu dan sudah usang di dalam tumpukan memori lamanya.
***
Bagaimana mungkin Adam bisa melupakan Qorine. Selain ia satu-satunya gadis indo berdarah campuran yang pernah menjadi teman sebangkunya di sekolah dasar, ia tidak akan pernah melupakan perkara itu seumur hidup.
Semua berawal karena Adam suka sekali menggambar gunung ketika duduk di bangku SD. Adam kecil selalu bersemangat ketika jam pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian tiba. Saat jam pelajaran favoritnya itulah, ia akan keluarkan segala peralatannya. Dimulai dari kotak pensil. Kemudian ada rautan pensil berbentuk bulat dengan cermin di permukaannya. Lalu ada pensil warna dan buku gambar ukuran A4 dengan cover burung nuri berbulu warna-warni. Setelah semua siap, maka Adam akan larut ke dalam gumpalan imajinasinya.
Qorine, gadis kecil yang duduk sebangku dengan Adam, sebenarnya tak kalah sukanya dengan pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian. Seperti anak-anak SD di manapun berada, ia juga suka sekali menggambar gunung.
Sayangnya Tuhan tidak membekali setiap individu dengan keterampilan yang sama. Kala itu Adam lah yang menjadi artis terbaik di kelasnya. Semua teman sekelas dan gurunya tahu hal tersebut. Akan tetapi, sekali lagi, Tuhan tidak membekali setiap individu dengan keterampilan yang sama. Walau Adam pandai menggambar, saat itu ia belum bisa membaca apalagi menulis namanya sendiri.
Lain halnya dengan Qorine. Gadis kecil itu pandai benar dalam pelajaran membaca dan menulis. Lalu ketika gambar Adam telah selesai, seringkali Adam meminta bantuan Qorine untuk menuliskan namanya di atas kertas gambarnya. Tentu saja Qorine melakukanya dengan satu imbalan yaitu, sebungkus permen CizCiz. Hingga suatu hari, Qorine menghianati Adam.
Alkisah Adam menyelesaikan sebuah gambar gunung yang paling megah yang pernah ia buat. Gunung tersebut tunggal menjulang menyentuh awan, agung dalam menopang langit dan bumi, di kakinya terhampar eloknya petak sawah-sawah menghijau. Pematang dan jalan setapak yang digambarkan berkelok di bawah kaki gunung itu pun begitu membius indra pengelihatan -orang dewasa sekalipun-.
Pesan damai dalam gambar gunung dan arifnya suasana alam pedesaan di bawahnya, tersampaikan dengan sempurna. Bayangkan, bagaimana mungkin hal itu bisa dilakukan oleh seorang bocah SD, kalau tidak benar-benar hasil guratan seorang jenius seni.
Sialnya, gambar tersebut berhasil menarik perhatian Qorine juga. Entah setan jahanam mana yang lewat saat itu, yang membuat Qorine sangat amat menginginkan gambar adiluhung itu menjadi miliknya, lebih dari sekedar mendapatkan sebiji permen murahan. Dan kesempatan itu datang juga.
Seperti biasa, Adam meminta Qorine menuliskan namanya di pojok kanan bawah karya masterpiece tersebut. Qorine menatap sejenak gunung buatan Adam. Terpana, jengkel, cemburu, dan culas. Ia ukir dengan dalam serta begitu jelas, tujuh huruf kapital yang merangkai sebuah nama, Q-O-R-I-N-E, di pojok kanan bawah masterpiece sang maestro cilik.
Qorine menunjukkan kembali kepada Adam, gambar yang telah berinisial nama dirinya itu. Adam masih terpukau tidak percaya dengan kemampuannya sendiri dalam menciptakan keindahan yang terpampang di hadapannya. Di sisi lain, Qorine tersenyum riang mengetahui fakta, Adam ternyata masih buta huruf. Tanpa diminta, Qorine pun dengan suka cita membawa gambar di atas selembar kertas itu ke depan ruangan dan menempelkannya di dinding bersama gambar murid-murid yang lain.
Setelah duduk kembali di samping Adam, ia pun masih bisa menerima imbalannya seperti biasa. Khusus untuk sebuah masterpiece, ia mendapatkan sebatang cokelat cap ayam jago yang tentu lebih baik daripada sebiji dua biji permen CizCiz.
***
"Ha,ha,ha, lu masih ingat sama kejadian itu?" tawa Qorine tak tertahankan lagi, nyaris meledak di udara.
Adam diam mengawasi tingkah Qorine. Kini dialah yang menyilangkan tangan di depan dada, memasang raut wajah kesal di hadapan musuh lamanya. Musuh saat zaman jahiliyah masih merundung masa kecilnya dulu.
Qorine yang tahu bahwa itu bukan kenangan yang lucu bagi Adam, mencoba untuk menahan geli menggelitik di sekitar perutnya. Uniknya, setelah 18 tahun berlalu, barulah ia mengucapkan 'maaf' kepada Adam, namun masih tersisa segumpal kuluman senyum di mulutnya saat mengucapkan kata itu.
"Emmm,,, sekarang lu kerja di mana?" tanya Qorine mencoba mengalihkan pembicaraan dari kenangan jahanam itu.
Entah kenapa ditanya seperti itu Adam ingin sekali terbahak-bahak. Namun ia berhasil menahan diri dan hanya terkekeh-kekeh saja.
"Kenapa lu malah ketawa?" tanya Qorine yang malah jadi penasaran.
"You won't believe me but, persis hari ini gue keluar dari pekerjaan gue."
Qorine menoleh ke arah Adam. Menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Tatapan mata yang melotot saking terkejutnya.
"Sekarang gue pengangguran, he,he,he." kata Adam santai, sambil membalas tatapan Qorine.
"Oh, ya?" sergah Qorine.
"Kok bisa? Gayamu kelihatan seperti pekerja kantoran," kata Qorine lagi.
"Apa ada pekerja yang jam segini sudah keluyuran di pasar, selain memang enggak ada kerjaan?"
Qorine kali ini tersenyum mendengar pernyataan cerdas itu. "Artis juga suatu profesi dan gue jam segini sudah keluyuran di pasar," pancingnya.
Qorine ingin tahu sampai sejauh mana kemampuan Adam bercakap-cakap. Bisakah ia menjawab kata-katanya yang terakhir ini?
Adam menatap Qorine sebentar. Lalu ia menoleh ke segala arah seperti hendak mencari sesuatu. Sebelum akhirnya ia berkata. "Lu nggak lagi ngebawain acara TV yang kameranya tersembunyi dimana gitu?" bisik Adam kepada Qorine.
"He,,,he,,,he" Qorine tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Berarti lu lagi nganggur sekarang," balas Adam dengan ekspresi pura-pura serius.
***
Entah siapa yang memulai, namun kini mereka berdua sudah berjalan kembali menyusuri kios-kios kecil di sepanjang Jalan Surabaya, sembari bercengkrama. Sepasang dua pasang mata mencoba melirik ke arah Qorine. Mungkin pemilik mata itu juga berpikiran, jika mereka pernah melihat wajah blasteran itu muncul di layar kaca.
"Kenapa lu keluar?" tanya Qorine lebih jauh lagi.
"Ceritanya cukup panjang, tapi alasan terkuat gue keluar dari pekerjaan gue, karena gue nggak bahagia. Itu saja."
Mendengar penjelasan itu, Qorine pun seperti segumpal gas yang terpicu percikan bunga api. Ia menatap wajah laki-laki berahang tegas itu lebih lekat lagi. Ada setitik emosi yang sekelebat menghampirinya ketika Adam mengucapkan kata 'gue enggak bahagia, itu saja.'
"Kenapa? Aneh ya?" tanya Adam yang langkahnya terhenti karena Qorine menatapnya cukup dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lari
Mystery / ThrillerAdam melompat dari hidupnya yang mapan di Jakarta. Lelaki ini terlempar dari rutinitas yang membosankan. Mencoba meraup kebebasan yang ingin diraihnya. Tak disengaja ia bertemu dengan Qorine. Pesohor yang kalut akan konsep kabahagian dalam hidup. Me...