Jalur Putri - Surya Kencana

30 2 0
                                    


Matahari sudah meninggi. Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, dan keempat petualang itu sedang berada di bawah naungan pohon Satigi yang rimbun dengan bunga-bunga merah di pucuk-pucuk rantingnya. 

Di bawah naungan Satigi mereka sedang istirahat. Memanfaatkan akar-akar pohon Satigi gunung yang mencuat di atas tanah hutan yang lembab. Burung-burung murai sudah ribut beraktivitas, terbang dari dahan yang satu ke dahan yang lain. Mengumpulkan bebijian dan menyemangati pagi dengan kicaunya yang berisik.

"Gimana mbak Qori, enak naik gunung?" tanya Jaka yang melihat Qorine duduk kecapekan.

"Berat juga ya ternyata?"

"Ha,,,ha,,,ha,,, ya gitu deh, orang naik gunung kan sebenarnya nyari susah." kata Jaki dengan tawanya yang renyah.

"Tapi aku suka sekali kalau lagi istirahat begini. Bisa dengerin suara-suara burung berkicau..."

"Uduk... Nasi Uduk!" teriak pedagang nasi uduk, yang menapaki terjalnya hutan Satigi di jalur gunung Putri menuju puncak Gede. Laki-laki setengah baya beralaskan sandal jepit enteng memikul beban.

"Kenapa? Senang bisa dengerin suara abang-abang penjual nasi uduk di tengah hutan ya? Ha,,,ha,,,ha,,," lagi-lagi Jaka dan Jaki tertawa menggoda Qorine.

Qorine pun tersenyum simpul, ia sendiri sudah menyaksikan setengah lusin pedagang nasi uduk sejak dini hari tadi. Berseliweran ikut mendaki gunung, menjajakan dagangannya pada para petualang.

Qorine tidak mengira, kalau ada orang-orang yang mencari nafkah dengan cara seperti itu, sampai rela merambah hutan sembari memikul beban berat. Dua keranjang anyaman bambu dipikul dengan pundak. Kelihatannya bukan pekerjaan yang mudah, apalagi harus berhadapan denganjalan setapak menanjak tak kunjung usai seperti di jalur Putri ini.

Qorine yang lapar sekaligus simpatis, akhirnya memesan nasi uduk yang dijajakan seorang pria paruh baya yang lewat di dekatnya.

"Kalian tidak lapar?" tanya Qorine sambil melemparkan pandang ke arah pria-pria di sekelilingnya.

Para pria yang ditanyai hanya saling memandang satu sama lainnya. Seperti ada kesepakatan yang terjalin lewat cara mereka saling pandang itu, akhirnya Jaka, Jaki, dan Adam ikut juga memesan nasi uduk tersebut.

"Apa di setiap gunung itu ada penjual nasi uduknya?" tanya Qorine dengan polos kepada mereka.

"Sejauh pengalamanku, cuma ada beberapa gunung saja yang ada penjualnya. Nasi uduk ini salah satu ciri khas di Gede." sahut Jaka.

"Kalau di Lawu, ada warungnya."

"Di Papandayan juga." imbuh Jaki.

"Oh,,,?" kata Qorine.

"Kalau di Rinjani kadang-kadang ada yang jual bir, rokok, dan makanan ringan." lanjut Adam.

"Hebat ya mereka. Mencari nafkah sampai puncak-puncak gunung." kata Qorine.

Si pedagang nasi uduk yang belum menerima bayaran dan ikut-ikutan mengaso di dekat-dekat situ pun hanya tersenyum-senyum mendengar celetukan Qorine. Sedangkan ketiga pemuda itu saling menyegarkan ingatan mereka tentang petualangan-petualangan kecil di masa lalu.

"Di Welirang..." ungkap Adam kemudian bercerita. "Pernah kami menyaksikan dengan mata kepala kami sendiri, manusia-manusia tangguh penambang belerang di puncak-puncak gunung."

"Oh, ya?" imbuh Qorine mulai tertarik dengan cerita-cerita petualangan kawan-kawan mereka.

"Ya, kalau kau tahu, jalur pendakian ke Welirang dan Arjuna, sampai bertemu pondokan para penambang belerang di lembah kijang, itu jauh lebih sulit daripada jalur ini." terang Jaka.

"Istilahnya, dengkul ketemu dada." sambung Jaki.

Qorine hanya bisa membayangkan saja cerita-cerita tersebut. Satu hal yang bisa ia katakan, "terus?"

"Dari pondok mereka, untuk menuju ke puncak gunung yang menyimpan belerang tak habis-habisnya itu, biasanya mereka membawa gerobak kayu yang harus ditarik." terang Adam lagi. 

Ia teringat betapa kerasnya perangai para penambang belerang di Welirang. Dikenal di kalangan pendaki gunung sebagai kelompok yang tak ramah. Beberapa oknum penambang kerap mengganggu para pendaki, terutama yang tidak bersahabat.

LariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang