Nuansa Petualangan

16 2 0
                                    


Adam masih mengingat jelas profil penambang belerang di gunung Welirang. Tali yang terbuat dari ban dalam bekas, ditambatkan di kedua pundak mereka. Jika seseorang menarik gerobak, seorang temannya yang lain biasanya membantu mendorong gerobak dari belakang. Kulit mereka memerah terpanggang matahari. Tak sedikit peluh timbul dan bercucuran dari pori-pori kulit mereka, melicinkan otot-otot yang kekar, liat dan perkasa.

Jalan yang mereka tempuh tak mudah, berbatu-batu dan menanjak. Jika sampai hujan mengguyur jalur pendakian, tentunya tanah setapak tersebut akan berubah menjadi medan lumpur yang licin dan lebih sulit untuk ditempuh.

Roda-roda gerobak yang mereka tarik pun sebenarnya sudah tak layak pakai lagi, namun yang terpenting, asal roda masih bisa bergulir di atas tanah saja, gerobak sudah cukup untuk dibawa naik ke atas.

Kawah belerang berada di ketinggian 3165 meter dari permukaan laut. Bau kawah irtu mirip betul dengan aroma telur busuk, ditambah lagi dengan jumlah gas sulfur yang sangat banyak. Bisakah kau bayangkan aroma puluhan ton telur busuk memenuhi udara? Aroma sulfur dari kawah belerang itu mampu membuat panas perih saluran pernapasan karena menghirupnya.

Semenit saja berada di tempat seperti itu sudah menjadi neraka. Mereka, para penambang itu malah berjam-jam lamanya menguliti bebatuan warna kuning cerah dan kerap kali menyemburkan asap putih beraroma telur busuk itu. Mereka seakan asik menambang tanpa kenal perih dan pedas yang menerjang hidung, tenggorokkan, paru-paru sampai mata mereka.

Kisah fantastis itu sendiri seakan belum lengkap, bila melewatkan jurang menganga berkelok-kelok di lereng-lereng menuju puncak yang wajib mereka tempuh. Salah langkah sedikit saja, bisa-bisa nyawa melayang tertelan kabut yang muncul dari jurang-jurang. Mengerikan.

Qorine, yang baru pertama kali mendengar kisah manusia yang mencari nafkah dengan cara seperti itu pun menjadi terenyuh. Dengan membayangkannya saja ia mampu merasakan empati pada kerasnya kehidupan yang dijalani para penambang belerang di puncak gunung Welirang. Lamunannya hanya bisa disadarkan oleh pedagang nasi uduk.

"Tambah lagi nasi uduknya?" tanya pedagang nasi uduk yang ingin melanjutkan perjalanannya kembali.

"Cukup pak, nanti kalau kekenyangan malah enggak mau jalan. Berapa semuanya?" kata Adam.

"Dua puluh den." kata pedagang itu ramah ditingkahi dengan senyuman.

"Sebungkus cuman goceng bang?" tanya Qorine.

"Iya non." jawab pedagang itu polos.

Qorine lagi-lagi terenyuh, baginya lima ribu rupiah itu terlalu murah untuk menilai usaha sang pedagang nasi uduk yang harus berjalan pagi-pagi buta. Menerjang rute menanjak sambil memikul bakul di pundak. Berat beban pedagang nasi uduk itu jelas jauh lebih berat dari beban yang kini disandangnya.

Adam mengansurkan selembar dua puluh ribuan ke pedagang nasi uduk. Qorine sendiri mengansurkan tambahan dua puluh ribu rupiah lagi kepada pedagang nasi uduk yang berdiri persis di hadapannya.

"Ah, kelebihan ini mah neng?" kata pedagang nasi uduk itu hendak menolak.

"Buat beliin anak bapak jajan." terang Qorine. "Bapak punya anak kan?" telisik Qorine.

"Punya neng, anak bapak ada dua, laki-laki semua. Yang paling kecil belajar silat ke den Jaka sama den Jaki." terang si pedagang nasi uduk sambil menunjuk kedua anak kembar tersebut.

"Loh, bapak kenal mereka?" tanya Qorine.

"Kalo den Jaka sama den Jaki mah, semua kenal sama mereka atuh neng." senyum pedagang itu keluar dengan ramahnya.

"Mangga atuh neng, den." katanya sambil membungkuk permisi. 

Walau bebannya terlihat berat, ia mampu berjalan di jalur menanjak seperti tak menanggung beban sama sekali. Langkahnya seringan kapas. Tak sampai lima menit ia sudah menghilang ditelan kanopi daun-daun pohon Satigi yang rimbun.

"Jangan-jangan abang tukang nasi uduk itu punya jurus meringankan tubuh kali ya?" selidik Qorine sambil melirik curiga kepada Jaka dan Jaki.

"Ha,,,ha,,,ha,,," pecahlah tawa Jaka, Jaki, dan Adam mendengar celetukan polos Qorine di tengah kepungan hutan santigi.

"Jurus Kunyuk melempar buah kali neng."celetuk Adam mencoba menirukan aksen Sunda. Sayang, kedengarannya masih gagal.

LariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang