Epilog

42 1 4
                                    


Cahaya senja mewarnai laut, seolah-olah itu adalah kanvas yang bisa dilukis secara ekspresionis oleh Tuhan. Itu kesempatan ketiga kalinya bagi Adam, menyaksikan Tuhan menggoreskan kuasnya di atas kanvas lautan, dari atas dek KMP Rinjani yang tangguh mengarungi laut Indonesia. Adam sedang dalam perjalanan membelah lautan Indonesia kala itu.

Singkat cerita, setelah kejadian di Yogyakarta. Adam melakukan perjalanan hitch hiking ke pelabuhan Tanjung Mas. Merayapi kota demi kota dan menikmati romansa petualangan yang tidak akan pernah ia lupakan. Akhirnya, ia melompat ke KMP Rinjani dari Tanjung Mas. Mencoba menggapai mimpi terliarnya untuk berkelana ke penjuru Indonesia Timur.

Didera angin laut yang beraorama garam yang khas, Adam merenungkan petualangannya baru-baru ini. Disampingnya, ada gadis berkulit karamel, berwajah eurasia dan mengaku darahnya bercampur aduk.

"Separuh Belanda, Prancis, Ambon dan mungkin sedikit Jawa." celotehnya sambil nyengir saat berkenalan dengan Adam di pelabuhan, waktu pertama kali bertemu.

Kini di atas kapal, Adam dan Hanna duduk berdua. Mulut Adam mulai terbuka, hendak mengucapkan sesuatu.

"Dunia itu aneh bukan? Menurutmu takdir setiap orang itu sudah ditentukan atau kita sendiri yang menciptakannya?" tanya Adam filosofis.

***

Aneh bila dunia yang begitu luas ini tidak memiliki kisah yang aneh. Ada semacam benang imajiner yang menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. 

Di tempat terpisah, ratusan kilo jaraknya dari Adam dan Hanna duduk berdua tadi, Dinggo merayakan kemenangannya.

Komplotannya tengah berkumpul, komplit di satu meja makan dalam ruang VIP sebuah restaurant besar. Hidangan utama sudah hampir habis di atas meja, namun masih ada beberapa agen yang menikmati sajian penutup. Selebihnya, mereka menikmati bir dingin maupun minuman lain untuk menutup perayaan itu.

Setelah beres menangani kasus Qorine sampai memanipulasinya agar tidak terekspos media, tentu membawa keuntungan finansial dalam jumlah yang tidak sedikit bagi kantong komplotan mereka. Lagipula pekerjaan kali ini benar-benar begitu mendebarkan. Pantas bila dirayakan. Toh Dinggo mulai jarang merayakan sebuah kemenangan. Sebab kasus yang ditangani belakangan sering kali menumpulkan kemampuannya yang brilian. Kasus mudah dan remeh-temeh.

"Nggak pernah kita menangani kasus sekeren ini kapten." celetuk salah satu agennya.

"Ngomong-ngomong, bagaimana kapten bisa menciptakan skenario sedetail ini?"

"Anak muda, kalau kau hidup selama aku, melihat banyak hal di luar sana, mencicipi segala macam petualangan. Kau akan tahu, kalau dunia ini penuh sekali dengan kesempatan dan konspirasi."

Agen-agen Dinggo saling berpandangan heran, tidak tahu harus berkata apa. Ini sisi lain dari kepribadian Dinggo yang mungkin jarang mereka ketahui selama ini, selain kepemimpinannya dan kreatifitasnya yang mengerikan.

"Tapi apa kapten tidak takut salah perhitungan?"

Dinggo menopang dagunya dengan satu tangan. Sikapnya seolah memikirkan sesuatu sebelum akhirnya ia berkata, "Belasan tahun yang lalu, aku pernah jadi body guard seorang ekspatriat. Itu di Denpasar." kenangnya.

" Suatu kali aku diperintahkan untuk menjemput anak perempuannya yang masih kecil ke sekolah." lanjutnya.

Semua orang terdiam mendengar kisah hidup Dinggo puluhan tahun yang lalu. Seolah anak-anak muda itu siap didongengi cerita fantastis. Misteri dibalik suksesnya skenario besar mereka berbulan-bulan ini, yang sukses menggelontorkan sejumlah besar uang ke kantong mereka, sekaligus membawa mereka makan enak di restaurant mewah kali ini.

LariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang