Si Om

8 1 0
                                    


Rosalina baru saja keluar ke arah jalan raya, setelah meraba-raba gang-gang sempit. Pole taksi menghubunginya dan mencari tahu ke mana arah tujuan Rosalina kali ini. Tanpa curiga sedikit pun, Rosalina menyebutkan tujuannya. Begitu juga dengan Adam dan kawan-kawanya, tidak pernah mereka terpikir jika Dinggo akan mencari jalan apapun untuk mengendus keberadaan mereka.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Rosalina pada Adam.

"Siapa yang mengejar kalian? Apa yang kalian lakukan?" rentet Rosalina, tanpa memberi kesempatan bagi Adam untuk menjawab pertanyaannya satu per satu.

***

"Dia siapa?" tanya lelaki berwajah tegas dengan garis rahang keras di seberang meja.

Qorine terkulai di atas sofa merah murahan di sebuah ruangan luas yang asing. Qorine lemas dan terlentang menatap langit-langit ruangan yang tinggi dalam temaramnya pencahayaan ruangan.

Kedua penculiknya sedang berhadapan dengan lelaki asing yang duduk di balik meja kayu jati besar dan kokoh

"Dia orang terkenal om." kata Tomi pada lelaki asing tersebut.

Lelaki yang dipanggil Om itu kini menegakkan punggungnya yang bersender santai di senderan kursi. Jemari tangannya bertautan, sedangkan tatapan si Om begitu tajam dan dingin menatap lawan bicaranya.

"Kau bilang, dia siapa tadi?" ujar si Om.

Seolah dinding-dinding ruangan itu punya telinga, Tomi mencondongkan tubuhnya dan berbisik pada si Om, "Dia Qorine Saraswati, artis ibu kota Om."

"Lalu?" tanya si Om lagi pada Tomi.

Sebelum melanjutkan keterangannya, Tomi melirik sebentar ke arah Wina yang berdiri dan menyenderkan punggungnya di tembok ruangan. Mencoba meraih kepercayaan diri dari gadis itu.

"Kita bisa minta tebusan, atau merampoknya, atau terserah Om mau diapain juga." ujar Tomi. Tangannya mengisyaratkan agar Om memberikan komisi bagi hadiah yang dibawanya itu.

Si Om memejamkan matanya sejenak, membuat satu tarikan nafas panjang dan menyenderkan kembali punggungnya ke kursi empuknya lebih rileks. Kedua kakinya ia naikkan ke atas meja. Seolah ia hendak menunjukkan siapa diri dan kekuatannya pada Tomi.

"Tomi, Tomi, Tomi,,," gumam si om dengan santainya.

Dalam gerakan yang sedikit malas, ia menarik laci kecil di meja jatinya dan mengeluarkan sebuah senjata api. Tanpa rasa gentar, laras senjatanya itu ia arahkan langsung ke kepala Tomi yang berjarak hanya satu meter saja dari posisi duduk si Om.

"A,,,apa-apaan ini Om?"

Perlahan, si Om berdiri sambil terus mengacungkan senjatanya ke arah kepala Tomi. Sedangkan Wina hanya bisa menutup mulutnya, tidak pernah menyangka jika si Om akan berbuat seperti itu kepada Tomi.

"Kau pikir siapa dirimu? Hah? Berani-beraninya menyuruhku jadi seorang penculik dan rampok!Bangsat!" kegeraman si Om kini tampak jelas. Sedangkan Tomi tidak pernah menduga rencananya yang disangka brilian akan membuat si Om marah.

"A,,,aku enggak bermaksud gitu Om." Tomi kini telah mengangkat pasrah kedua tangannya.

"Tomi,,," kata si Om yang menurunkan nada bicaranya. Terdengar sedikit lebih ramah namun sebenarnya hanyalah sebuah sarkasme.

Tak seperti cara bicaranya, jemarinya telah menyambar dan mencengkram kerah baju Tomi. Moncong pistol si om menempel di pelipis kanan Tomi.

"Kamu pikir menculik itu gampang? Kalian pikir merampok itu mudah?"

Tomi diam saja dan gentar di bawah todongan senjata. Ia tidak tahu pasti, apa yang membuat si Om murka. Apa yang sebenarnya salah dengan rencananya? katanya pada dirinya sendiri.

***

Dinggo tiba lebih dulu di depan rumah tempat Qorine disekap. Hand gun imutnya masih menempel di pelipis si sopir taksi. Si sopir malang perlu menyumbat lubang hidungnya menggunakan tisu untuk menghentikan pendarahannya.

"kau yakin ini alamat yang mereka tuju?"

"I,,,iya benar." kata sang sopir malang, tergagap dan memberikan anggukan kecil.

Dinggo memberi isarat kepada agen-agennya agar keluar lebih dahulu dari taksi. Dinggo pun keluar setelah mengansurkan bayaran pada sopir yang sudah ketakutan setengah mati itu. Bagaimanapun juga, mendapati Dinggo membayar ongkos taksinya sedikit membuat sang sopir lega, terlebih lagi Dinggo membiarkan nyawanya selamat kali ini.

Setelah Dinggo keluar dari taksi, sang sopir pun menginjak gas dengan gesit. Seperti kesetanan, taksi beserta sopirnya tunggang langgang menghindari masalah secepat dan sejauh mungkin.

"Justru kalian membawa masalah ke tempatku bajingan tengik!" ujar si Om dengan nada yang meninggi lagi. Arah laras pistol si Om kini mengarah ke Wina yang sudah merosot ke lantai.

Tomi terbebas dari cekikan dan tekanan si Om. Ia masih duduk dan menggaruk-garuk jakunnya yang sakit karena tercekik lengan si Om yang senewen.

Dinggo membuat rencana kilat. Di gang komplek perumahan tersebut ia berdiskusi dengan agen-agennya. Mereka melihat lingkungan di sekeliling, nyaris tidak ada tempat untuk bersembunyi. Hanya ada beberapa celah yang bisa dimanfaatkan satu dua orang saja dan itu riskan. Dinggo pun berencana untuk mematikan segala jenis penerangan di area tersebut. Terpaksa ia harus mencabut lampu-lampu taman di rumah warga yang menerangi jalan raya. Satu lampu tiang dipotong kabelnya oleh Dinggo, sehingga daerah di sekitar situ menjadi lebih gelap dan temaram. Lalu Sebisa mungkin Dinggo dan agen-agennya menyembunyikan tubuh mereka di celah sempit dan sudut-sudut tergelap di sekitar lingkungan itu.

Memang tak sampai menunggu terlalu lama, Adam dan kawan-kawannya benar-benar hadir ke tempat itu. Sayangnya, tanpa curiga sedikit pun jika Dinggo dan agen-agennya telah menyarukan diri.

"Enggak salah lagi. Aku tadi nganter mereka ke sini." ujar Rosalina.

Kini Rosalina menghentikan laju taksinya tepat di depan sebuah rumah. Tempat ia terakhir kali mengantar Qorine dan orang-orang asing yang membawanya.

"Sekarang apa yang mau kamu lakuin?" tanya Rosalina pada Adam.

"Kita turun dan gedor rumahnya." sahut Adam.

"Yakin?" tanya Jaka.

Adam tidak berkata apa-apa lagi dan langsung keluar taksi. Seolah-olah ia menjawab pertanyaan Jaka dengan tindakannya.

***

"Lebih baik kalian minggat dari sini sekarang juga!" kata si Om pada Tomi dan Wina.

Tomi dan Wina pun perlahan menyingkir dari ruangan itu. Namun ketika Wina hendak memapah Qorine yang tergeletak di atas sofa, si Om kembali berucap sengit.

"Tinggalkan dia!Biarkan dia jadi urusanku."

Tomi sedikit tidak terima dengan perintah itu. Namun ia menjadi kecut saat si Om meliriknya tajam. Bahkan Tomi keluar dari ruangan dengan langkah mundur karena takut nantinya si om berubah pikiran dan menembak tengkuknya dari belakang, saat ia lengah. Ia kenal orang gila yang menjadi langganan penyuplai heroin baginya dan Wina selama ini.

LariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang