Qorine menatap jalanan Jakarta dari balik kaca mobilnya. Anak-anak jalanan yang sedang bercanda dengan atraktifnya di sebuah perempatan jalan raya, rupa-rupanya menarik perhatian Qorine.
Walau rambut anak-anak jalanan itu sepertinya sudah beberapa minggu tidak mengenal shampoo. Walau daki-daki juga nampak di lipatan-lipatan kulit mereka yang kering dan kusam. Walau baju dan celana mereka sobek sana-sini mempertontonkan pundak yang kurus, punggung yang tipis, dengkul koreng nan penuh dengan parutan luka kering menghitam. Akan tetapi Qorine pikir, anak-anak jalanan itu terlihat menjalani hidup yang jauh lebih bahagia daripadanya saat ini.
Jauh lebih baik daripada dia, yang kini terperangkap dalam mobil mewahnya. Tak akan ada yang menilai anak-anak jalanan itu dari merek pakaian yang dikenakan. Tak akan ada mata yang melirik sinis, ataupun mulut yang mencibir anak-anak itu, karena tidak berusaha untuk tampil sempurna. Qorine merasa, hidup anak-anak jalanan itu begitu bebasnya, dalam ketidak sempurnaan yang melekat pada diri mereka.
Walau taman bermain mereka ada di tengah-tengah kepungan klakson, debu, dan panasnya cuaca yang mampu membakar kulit, mereka masih bisa tertawa lepas menjalani hidup. Bahkan ada yang duduk-duduk berkelompok memainkan musik. Seolah tak ada beban dalam hidup yang harus mereka tanggung. Hidup seakan cukup diiringi musik untuk dinikmati.
Padahal mobil Qorine yang merayap tersendat-sendat dalam kepadatan jalan raya, sudah agak jauh melewati anak-anak jalanan yang sedang nongkrong. Akan tetapi Qorine tetap saja lekat memandangi mereka dari balik kaca spion. Seakan-akan ia baru pertama kali menyadari kehadiran anak-anak jalanan itu di Jakarta.
"Mereka, seperti burung," kata Qorine dalam hati.
Qorine selalu saja seperti itu jika sedang merasa gundah oleh persoalan kehidupan. Di antara semua ingatan masa kecilnya yang tersisa, ia ingat masa-masa remajanya dulu. Masa-masa ketika ia lebih memilih terlahir menjadi seekor burung daripada terlahir menjadi manusia.
Di dalam mobil mewahnya, Qorine meraba-raba kembali momen-momen, ketika ia berkhayal menjadi merpati-merpati yang terbang bebas di angkasa. Tertangkap jelas aroma rerumputan yang menyertai memorinya yang menyeruak. Tak lupa disertai juga dengan cuaca panas, ketika puncak kemarau membakar bumi.
Pemandangan angkasa yang membiru tanpa setitik awan pun, perlahan menjadi nyata di dalam alam pikirannya. Itulah latar terkuat dalam benak Qorine, ketika melihat sekelompok merpati terbang dengan bebasnya di angkasa.
"Nguing, wing,wing,wing!" bunyi kelompok merpati yang terbang bebas membelah angin.
Ingatan Qorine mulai menguat. Seperti satu film yang diputar dalam kepala Qorine. Ia berkhayal sedang merentangkan sayapnya lebar-lebar dan merasakan angin mengalir lewat bulu-bulunya yang lembut. Ia kini menjadi salah satu dari kelompok merpati tersebut.
***
"Mau langsung pulang, Non?" tanya Solihin, sopir pribadi Qorine yang berkemeja safari serba hitam.
Qorine yang melamun tak menjawab pertanyaan Solihin. Tatapannya kosong, seolah memandang langit kotor yang coba dicengkram oleh gedung-gedung pencakar langit Jakarta di kejauhan.
Menyadari majikannya bengong saja, Solihin pun mengulangi pertanyaannya dengan intonasi yang sedikit lebih tinggi lagi. "Non mau langsung pulang?" kepala Solihin kini menoleh ke samping agar bisa melirik majikannya yang cantik itu.
"Surabaya," lirih Qorine.
"Maaf non, non mau kemana?"
"Eh, apa? Kamu tadi bilang apa?" gelagap Qorine.
"Enggak non. Saya tadi nanyain, non mau pulang apa enggak? eh non malah bilang mau ke Surabaya," kata Solihin.
"Surabaya. Ya, ke Jalan Surabaya." kata Qorine seperti mendapatkan sesuatu.
Tangan Qorine mulai merogoh ke dalam tas tangannya. Ia dapati buku yang diinginkannya, 100 Years Old Man Who Climbed Out the Window and Disappeared. Dari sela-sela halaman itu ia menemukan secarik kertas. Kertas itu bertuliskan sebuah alamat. "Jalan Surabaya, Menteng, Jakarta Pusat. PS : Kios ke 35," tulis seseorang di atas kertas itu.
Solihin, sopir Qorine pun menyanggupi permintaan tuannya. Tangannya meliuk memainkan setir mobil. Mobil Qorine pun melewati perempatan jalanan lagi.
Qorine mengalihkan perhatiannya kepada buku bersampul hijau di tangannya. Buku itu berilustrasikan seorang lelaki tua. Posisinya sedikit membungkuk dengan teropong dan sebuah koper di tangannya. Ilustrasi yang amat komikal.
Dari judul dan ilustrasi sampul buku itu saja, jelas novel itu punya kekuatan untuk menarik perhatian pembacanya. Namun Qorine sudah membaca buku itu. Bahkan sebelum seseorang memberikannya secara misterius. Seseorang tak bernama yang sengaja menyisipkan secarik kertas di tengah halaman buku tersebut. Lalu tanpa memberi alasan apapun, mengirimkannya tujuh kali tanpa henti kepada Qorine dalam kurun waktu seminggu.
Awalnya Qorine menganggap itu hanya perbuatan iseng seorang penguntit ataupun pemuja rahasianya. Akan tetapi keisengan itu dirasa keterlaluan. Sampai tujuh kali tanpa henti. Tujuh buku yang sama, disertai pesan yang sama di atas secarik kertas.
Qorine pun tergelitik untuk memenuhi undangan sang penguntit atau siapapun itu, jika memang hadiah dan kertas itu sengaja dikirim padanya. Ia menduga, itu sebagai satu bentuk undangan kopi darat yang dirancang dengan gaya misterius. Toh sore nanti ia ada urusan di Cikini. Apa salahnya ia mampir ke Surabaya dulu sebentar. Mengobati rasa penasarannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lari
Mystery / ThrillerAdam melompat dari hidupnya yang mapan di Jakarta. Lelaki ini terlempar dari rutinitas yang membosankan. Mencoba meraup kebebasan yang ingin diraihnya. Tak disengaja ia bertemu dengan Qorine. Pesohor yang kalut akan konsep kabahagian dalam hidup. Me...