Ali menopang dagunya sembari menatap Prilly yang tengah memegang kedua telinganya sembari memasang wajah merengut lucu.
"Aliii.. Udah yaa? Aku capeek." rengek gadis itu menghentakkan kedua kakinya. Ali hanya terkekeh.
"Janji gak bakal tepe-tepe lagi?" Prilly mengangguk.
"Udah selesai. Duduk sini." Prilly menghela nafas lega. Sudah satu jam lebih ia berdiri di sudut ruangan sembari menjewer kupingnya sendiri
Tadi, Ali menghukumnya, karena setelah dari danau tadi. Beberapa lelaki yang tengah berjalan di belakang mereka memperhatikan Prilly sangat lekat. Prilly mencoba merayu Ali dengan berbalik lalu mengedipkan mata pada lelaki itu hingga Ali kesal dan langsung menggendong gadisnya ke Villa.
Kalau tahu seperti itu, Prilly tak akan melakukannya karena itu sangat melelahkan.
"Ali kamu sakit?" tangan Prilly menyentuh dahi pria itu lembut sembari mengelus jambul Ali. Ali hanya menggeleng dan menyenderkan tubuhnya di sofa.
"Kalau sakit istirahat aja sayang.." ucapnya yang dibuahi gelengan oleh Ali. Gadis itu merasa resah dengan kondisi Ali yang belakangan ini lemas. Apakah pria itu sakit?
Prilly membelalak saat darah mengucur dari hidung Ali. Prilly mulai panik, ia meneriaki Digo dan Sisi hingga keduanya berlari tergopoh-gopoh menuju ruang tengah.
"Ali! Kamu gakpapa kan? Ini.. Ini darah! Banyak banget!" Prilly mengelapkan darah itu dengan tissue.
"Enggak. Gakpapa kok Prill.." balasnya lembut. Ia memegang tangan gadisnya itu erat kemudian dikecupnya manis.
"Kamu gak bakal tinggalin aku kan, Li?" tanya Prilly pelan. Ali hanya tersenyum dan mengangguk.
***
Prilly menghela nafas saat mengetahui Ali hanya terserang anemia. Ia kekurangan darah hingga tubuhnya lemas, belakangan ini Ali memang banyak pikiran. Terutama tentang gadisnya..
"Li, gue saranin lo secepatnya beri tahu sama Prilly. Lo tau kan anak itu kalau tau dari Sisi atau gue bisa nangis kejer. Lebay lagi." tutur Digo memperingatkan Ali lagi.
Ali memang ingin memberitahukannya. Ia hanya takut gadis itu terpukul lalu menjauhinya jika mengetahui semuanya. Tapi apa boleh buat? Semua sudah takdir, tak ada yang bisa menghentikannya. Sebentar lagi ia akan pergi.. Meninggalkan semua yang ada disini.
"Lo gak boleh nyerah Ali! Lo pasti bisa. Lo bukan Prilly atau Sisi yang alay minta ampun. Lo bukan gue yang setiap hari ngeluh ini itu. Gue tau Ali! Ali itu orangnya tegar. Iyakan?" Ali terkekeh lalu memeluk Digo erat.
"Gue berterimakasih sama lo Digo.. Karena lo gue bisa semangat. Gue janji bakal ngasitau dia. Dan pas semua sudah berakhir, gue bakal secepatnya beri dia kebahagiaan. Kalau gue bisa." tukas Ali menepuk bahu Digo.
"Kalau semua berakhir. Si Prilly yang kesenangan. Berbunga-bunga pastinya dia. Gue mau kasih ide. Pas semua berakhir, jangan langsung Li. Kasih lah bumbu sedikit." Ali berfikir.
"Kalau lo mau bantu siih, gue mau aja. Asal lo yang ngatur semua."
"Somplak! Yang mau buat itu elo! Bukan gue. Kalau gue ya pastinya buat Sisi lah." Ali memukul pundak pria itu keras.
"Ali? Udah baikan? Ini aku bawaiin ayam bakar." tiba-tiba kepala Prilly muncul dari daun pintu. Tak lama kemudian, gadis itu mulai berjalan perlahan sembari membawa nampan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Learn To Love
Fanfiction"Ali. Kamu itu gak bisa senyum ya?" Pertanyaan itu selalu terdengar di telinga remaja usia 17 tahun Ini. Ali hanya menatap dingin sekelilingnya. *** Kapan ya aku bisa liat kamu senyum terus setiap hari? Senyum kamu itu indah tau. Aku bisa jadi tem...