Learn To Love. 3

28.6K 2.4K 10
                                    

Prilly merapikan almameternya didepan kaca. Tangannya ia buat untuk menyisir rambut lurusnya.

"Sudah siap anak manis?" Prilly menatap laki laki yang berada di ambang pintunya.

"Hellow daddy! Menurut daddy? Belum laah."

"Aah. Pasti mau cari perhatiaan Ali kan? Makanya cantik cantik."

Mulut Prilly melebar. Ia melirik daddynya sinis.

"Daddy ish! Apaan siih!" Prilly mencibir daddynya.

"Udah ah. Yuuk!"

"Mau kemana?"

"Sekolah kan?" Prilly mengernyit.

"Daddy kan ke kantor! Bukan sekolah."

"Hari ini tugas daddy mengawasi sekolah. Termasuk ngawasin kamu."

"What!? Daddy gak salah?"

"Enggak. Udah cepetan ah!"

"Iya iya!"

**

"Dad. Disekolah jangan ada yang tau ya kalau Prilly anak daddy?"

"Emang kamu anak daddy hm?"

"Daddy bikin Prilly esmosi." Daddy Prilly terkekeh.

"Iya iya. Emangnya kenapa siih?"
Prilly berfikir sejenak.

"Prilly gak mau nanti temen temen deketin Prilly cuma gara gara Prilly anak pemilik sekolah. Teman Prilly fake semua dong!"

Daddy Prilly tersenyum. Anaknya yang manja ini sudah mulai dewasa. Sudah mengerti mana yang salah dan mana yang benar.

"Siap Bos Prilly!"

***

Prilly turun dari mobil setelah sampai diparkiran. Semua murid dan guru menatap Prilly aneh.

Bagaimana bisa? Seorang murid biasa bisa berdampingan dengan Pemilik Sekolah mereka.

Tanda tanya besar bagi seluruh warga sekolah.**

Kaki Prilly mulai melangkah di koridor sekolah. Tangannya menggenggam buku Kimia kesukaannya.

Seperti kemarin. Semua mata tertuju padanya. Ada yang kagum. Ada yang heran dan juga ada yang berbisik.

Prilly tak peduli akan hal itu. Senyumnya terus terumbar untuk semua orang.

Bruk!

"Awsh!" Bahu Prilly tersenggol. Bukunya berserakan dilantai.

Ia memunguti buku buku yang jatuh itu. Disisi lain ada juga yang membantunya membereskan bukunya. Hingga tangan mereka bersentuhan.

Keduanya saling menatap. Mata Prilly terkunci.

"Ali?" Mata Prilly terus memperhatikan mata Ali. Teduh. Tak ada tatapan tajam disana.

Ali dengan cepat mengambil buku Prilly.

"Nih buku lo. Sorry. Gue buru buru tadi." Prilly menunduk. Tak ingin menatap Ali.

"Yah. It's okey. Aku juga salah. Permisi." Prilly mempercepat derap langkahnya. Jantungnya berdebar.

Mata hitam legam itu masih mengunci pandangan dan fikirannya.**

Ali menatap punggung gadis itu. Senyuman merekah dari bibirnya.

"Gadis aneh." Ali berjalan dengan santai. Teriakan teriakan para kaum hawa sudah biasa ia dengar.

Tatapannya selalu lurus kedepan. Tak mau menengok gadis gadis itu. Tangannya ia masukkan di celah kantongnya.

Setelah sampai ditempat yang ingin dia tuju, ia mulai mengetuk pintunya.

"Masuk!" Suara itu terdengar lantang. Ali mengatur nafasnya dan mulai melangkahkan kaki kedalam.

"Maaf pak. Ada apa anda memanggil saya?" Wajahnya masih datar.

"Duduklah." Ali menggeser kursi. Mulai duduk berhadapan.

"Kamu Ali?" Ia mengangguk.

"Ya. Saya Ali. Maaf. Sekali lagi ada apa bapak memanggil saya?" Ali mengulang pertanyaannya lagi.

"Baik. Disini saya hanya ingin tau bagaimana wajahmu. Prestasimu sudah terdengar. Namamu bahkan sudah terkenal di seluruh sekolah ini. Secerdas apa kamu?"

Ali mengernyit. Apa maksud bapak ini?

"Anda pemilik sekolah kan? Bapak bisa mengetahui dari guru saya atau guru pengajar yang lain." Ali angkat bicara.

"Baiklah. Saya hanya ingin bertanya itu saja. Dikelas mu ada murid baru?"

"Ya. Ada. Namanya Prilly."

"Prilly saja? Tak ada kepanjangan lainnya?"

"Dia hanya menyebutkan itu."

Pak Rizal mengangguk.

"Bagaimana sifatnya?" Ali berfikir. Gadis aneh itu? Ia mulai berimajinasi tentang gadis itu.

"Dia sangat tertutup. Murah senyum. Pemalu. Cerdas dalam semua pelajaran. Bahkan ia mengalahkanku kemarin."

Pak Rizal mengernyit. Apa maksudnya?

"Lalu ia manis. Pipinya chubby. Dan dia baik." Pak Rizal mengangguk. Ia tersenyum sesekali mendengar ucapan Ali.

Ali tersadar dengan kata katanya. Ia merutuki ucapannya sendiri.

"Kamu boleh keluar. Terimakasih." **

Seluruh murid diperbolehkan keluar kelas. Jam istirahat dimulai. Prilly hanya berdiam diri ditempatnya seraya membaca bukunya.

Menurutnya membaca buku lebih baik daripada melakukan hal hal yang tidak berguna.

Prilly tak sadar. Dibelakangnya masih tersisa satu orang. Ali. Ia sama. Sama membaca buku.

"Haachiim!" Keduanya bersin.

Prilly menengok ke belakang. Ia mendapati Ali yang sedang menatapnya heran.

"Kok bisa samaan ya?" Prilly membuka percakapan. Ia memutar bangkunya.

"Gak tau juga." Ali tersenyum simpul.

"Kamu Ali kan? Kamu baca buku apa?"

"Gue baca buku Biologi. Pelajaran kesukaan gue. Kalau lo?" Ali mulai tertarik dengan percakapan ini.

"Aku Kimia. Pelajaran kesukaan aku. Biologi? Mau jadi dokter ya" Prilly menerka nerka.

"Ah. Gak juga siih. Gie suka aja. Kimia? Mau jadi profesor ya?" Prilly tersenyum.

"Gak juga. Hehehe."

Keduanya mulai diam lagi. Bingung ingin berbicara apa.

"Kok kamu gak sama temen temen kamu?"

"Temen? Temen gue cuma buku kali. Lo orang yang pertama kali ngobrol banyak sama gue." Ali tersenyum.

"What!? Beruntung dong aku." Prilly tertawa.

"Lo? Kenapa gak sama yang lain."

"Aku belum terbiasa sama suasana disini. Temen aku cuma Mila. Sama kamu. Kalau kamu mau siih jadi temen aku." Prilly menggaruk kepalanya.

"Maulah. Perpus yook" Prilly mengangguk.**

Selama perjalanan ke perpus, keduanya banyak berbincang. Pak Rizal atau Daddy Prilly yang melihatnya begitu senang.

Semuanya memandang Ali dan Prilly aneh. Bagaimana bisa gadis biasa itu merebut pangeran mereka dengan waktu sehari saja?

Ali dan Prilly tak mendengarkan gubrisan yang dilontarkan murid murid disana. Mereka asyik ngobrol dan tertawa.



Cinta tak tau kapan ia akan datang.

Learn To LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang