(2/3)
Awal beradaptasi di kelas, sejujurnya, kita belumlah seerat kekang tali tambang. Masihlah ambang. Semburat malu itu masihlah menempel bagai tompel di roman. Namun, seiring sejalan, perlahan-lahan, semburat malu itu pun mengerucutkan tubuh dan merekonstruksi diri jadi tingkap aurat tiada sedap. Malu-malu nan memalukan.
Kita tergelak. Tak pelak mengelak. Serempak. Kita bagaikan sebanjaran cermin saling silang akan satu sama lain. Bila dipersatukan, kita bagaikan setonggak klarinet berisik. Gemar menaja bising. Walau volume tengkorak termampatkan akibat muatan-muatan mujarab dari jendela marcapada, raga justru menggila, kehilangan daya sokongnya akibat mengejawantah mutan-mutan habis obat dari pedalaman Segitiga Bermuda. Kita berjingkrakan. Kepalang setan. Heboh. Tiada krei kamuflase dan fatamorgana. Semuanya jelas, sejelas-jelasnya. Kelas kosong tak berpartisi itu pun telah menggonggong terlumeri arwah-arwah gempita. Kebersamaan kita. Nyawa kita.
Seakan hafal pada tabiat masing-masing, kelas pun tanpa basa-basi menginstalasi diri menginisiasi kabinet. Ketua kelas, bendahara, sekretaris, dan bla-bla ... sudah biasa. Kita tiada cukupkan itu. Lebih dari itu. Malah, bersama meleburkan martabat eksistensi dalam jagat ultra nista. Semesta pertukangan. Bermandat tukang-tukang. Dari tukang gosip. Tukang meratapi nasib. Tukang azan magrib. Tukang kedip-kedip. Tukang mirip-mirip. Tukang boros selotip. Bahkan, ada yang semringah menjabati tukang intip-intip. Boleh jadi, setrip saraf kita agaknya telah condong dan miring. Sinting. Namun, kita, adalah ... kita. Ketidakbiasaan termaklumi oleh polah. Terdefinisikan oleh sekawanan insan spontan. Berbahagia hanya dengan keakraban rekan sepantaran. Laksana es loli. Laksana sejoli. Solid.
Tiada henti sampai di situ, kekompakan kita juga teraplikasi dalam rutinitas pembelajaran. Masih terbilang anyar memoarnya, ketika, kala itu, kita nyaris muntah saat bertegur sapa untuk yang pertama kalinya dengan Tuan Logaritma dan Nyonya Trigonometri. Sepasang suami istri fenomenal tersebut menjaili kita kalang kabut. Dibuatnya otak kita berontak, megap-megap, dan maunya beralih ke seni budaya. Tiada berdaya. Akan tetapi, tiada cemas yang memungkas lekas. Derita itu sekadar badai lima menit. Solusi pun tiba, seketika, tebar pesona bak dedemit. Ibarat lampu benderang yang tiba-tiba menyala dan mematuki kepala. Dan kita lantas mempersilakannya. Ya, ada tukang pukul soal. Legalah kita. Bergerombollah kita pada si tukang. Dengan amunisi sabar dan ketelatenannya, si tukang pukul soal bantu menjawab. Sesekali berhati malaikat dengan disodorkannya jawaban. Selebihnya, hanya beri jalan. Tetapi, tiada masalahlah. Seminimalnya, Tuan Logaritma dan Nyonya Trigonometri dari antah berantah sana kapok, menyesal pernah dilahirkan dalam eksemplar naskah matematika. Syukurlah, kita lolos, batal tersangkut sakratul maut. Berkat si tukang pukul soal, kelas pun bebas remedial. Sungguh seleret lembayung monumental. Abadi di setiap hela dan embus napas. Tiada ditemu duplikatnya. Tiada dua.
Tiada lengkap rasanya bila tidak ada sesuatu yang menegangkan turut ambil bagian dalam kisah manis ini. Jika kita ditanya siapa yang paling bisa menciptakan ketegangan itu, mutlak kita akan menjawab: guru killer! Setiap sekolah sudah barang tentu dihuni oleh—setidaknya seorang—guru galak. Tiada tampikan yang mempan enyahkan kehadiran makhluk yang kita anggap penyedot keceriaan terbesar kaum pelajar itu. Sejam presensinya ibarat setahun bertamasya di tubir neraka. Sangat berlebihan sebenarnya. Namun, toh kita dengan yakinnya akan mengangguk-angguk mantap, enggan membantah kalimat barusan. Terlebih, bila sang guru killer menunjuk salah seorang dari kita secara acak dengan delikan buas bak mencabut undian mobil mewah guna mengerjakan satu soal di depan kelas. Betapa naasnya siswa/siswi yang didera ketidakberuntungan tersebut. Magma dari Gunung Mauna Loa di Hawaii sana siap menyemburi kita kapan saja bila takdir tengah menggariskan demikian. Menggelikan.
Memang, seragam kebesaran kita telah menjelaskan siapa kita, tanpa perlu lagi ocehan ensiklopedia. Kita dikenal sebagai murid superserius. Belajar harus lebih kekar dari bocah ingusan yang selalu meronta-ronta minta mandi bola. Namun, nyatanya, realita di pelupuk pandangan, kita tak ubahnya balita cengengesan yang tiada setop berteriak kalap minta dibelikan kembang gula dan menarik-narik ujung baju mama. Serba pura-pura. Pura-pura lupa buat PR. Pura-pura merajuk dan mogok belajar. Pura-pura sakit perut saat hendak dihukum. Pura-pura jenius. Pura-pura polos. Dan sejuta pura-pura lainnya. Ah, bukan, bukan. Kita tiada berpura-pura, sesungguhnya. Rentetan kata itu memang benar setumpuk kenyataan. Sandiwara artifisial beralibi wajah iba. Dua sisi wajah. Betapa nakalnya kita, bukan? Menipu dunia dengan tabik putih abu-abu yang kata orang amat menyenangkan itu.
Lain hal. Gelagat anak kemarin sore acap kali menyamarkan sekoci haluan akan mengapa kita setiap hari merelakan diri 'tuk terbangun lebih dini guna meramaikan markas pencerdas kehidupan bangsa tersebut. Terkadang, kita tiada sadar bahwa kebutuhan-kebutuhan telah terciutkan varia keinginan, yang tanpa sadar kita semai. Berkumpul bersama teman dijadikan prospek, mengesampingkan belajar yang seyogyanya tiada patut dianaktirikan. Sederetan pelita eksakta cuma teranggapi bak pikulan nalar. Sedang cakap, canda, tawa, dan laralah yang ditanggapi bak panutan nalar. Akan tetapi, kita tiadalah bodoh. Kita adalah pemuda-pemudi kreatif yang sebetulnya tahu, paham, dan andal mengasosiasikan diri pada marka jalan yang benar. Proses itu tiada pernah absen menuntun, tiada pernah berkhianat, kendatipun lambat. Meneguk pengertian, bahwa tiada sekejap mata yang akan menjadikan semua baik-baik saja. Istana putih abu-abu-lah yang memfasilitasi semua.
Kita tahu, paham, dan andal akan muruah tiap-tiap individu. Selalu ada cara untuk menyelaraskan studi dengan sosial. Seperti roda belakang yang mustahil mengejar roda di depannya, selagi semua terlingkupi perigi logika, niscaya kita bisa melakukannya. Kita adalah raja bagi persahabatan ini, menjadikan persahabatan ini menawan, laksana singgasana bangsawan. Tiada terlena, dapatlah kita mengupayakannya. Kita melayang di atasnya, terlelap suar berseri-seri dari tetasan persahabatan, namun juga waspada akan bayang-bayang tepian yang siap mendepak kita sewaktu-waktu ke daratan. Kita tahu, paham, dan andal, bahwasanya buku dan ilmu adalah kebutuhan, bukan lagi keinginan. Jangan sampai kita diinginkan keinginan.
Entahlah. Benar kata orang, detik-detik ini adalah satu selipan babak hidup terbaik yang sayang tiada ditiliki. Sinetronisasi terpelitur di sana. Terkontaminasi romansa. Bunga-bunga asmara. Afeksi merah muda. Senandung senandika. Debaran-debaran. Dikte perasaan. Elegansi penampilan. Setitik jerawat disumpahserapahkan. Ibarat sebentuk pertunjukan teater tanpa penonton, kitalah yang memerankan sekaligus yang menyaksikan. Kita sadar pada apa yang telah diperbuat. Lihai memosisikan. Tiada bimbang. Tiada timbang akan wibawa diri yang ada kalanya tiada berarti dibanding seutas jemari kesetiakawanan. Terbahak rona. Tanpa beban. Tanpa halangan. Kita berpesta hari demi hari dalam sangkar emas yang kita sendiri pun tiada pernah tahu betapa berharganya sangkar itu. Kita terbuai suasana. Kita jatuh hati. Kita jatuh cinta. Akan rasa-rasa SMA. Akan masa-masa SMA. Senantiasa. Selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Puspawarna
Poetry[Antologi Puisi] Warna-warni kehidupan membuat kita menyadari satu hal, kita tak pernah sadar apa makna sebenarnya dari warna-warni kehidupan itu sendiri. ===== Didominasi puisi/sajak berima. Daftar puisi disusun alfabetis. © Iko_Nimbuss Ilustrasi s...