Gerhana Lazuardi (#1)

314 16 0
                                    

(1/3)

Era menghadiahi lara guna menambal lebamnya tombol merah jambu di perahumu untuk memilih. Bermiliar tanda baca yang kamu sama sekali tak ingin koleksi digelontorkan karpet biru muda yang intens melamunkan lempengan madu di atap sana. Bertubi-tubi, seolah hujan besok lusa menjadi satu-satunya nomor antrean tersisa.

Rambut arangmu yang jenjang dan seruncing sudut jangkau retina, serta kemerduan wajah yang selalu membuat cahaya cemburu bila absen siapapun selain dirimu, seperti tergesa-gesa, hambar menyelundupkan bingkisan jawaban. Akan tetapi, kamu, sejatinya, haus akan hidangan yang lebih dari sekadar tangkisan pertanyaan.

Sampai suatu ketika, kamu, dan pria yang duduk di samping ranjangmu, itu, kenyang memperternakkan kata-kata. Sekantung puing huruf dianggap segunung kuaci supersinting. Hanya satu yang kamu dan pria itu rasa penting: hening yang membanting-banting kelenturan logika melafalkan kata sifat. Geming yang lapar kejujuran kata kerja.

Jemari kamu dan pria itu tertumbuk. Bersipandang mematuk. Mengucur di antaranya sebidang eliksir pengibul kepul suntuk. Menjamah, tabah, tak muluk-muluk.

Segalanya—ruangan, pakaian, udara, perkakas, nyawa, tawa, partikel mikroskopik—tampak putih, tanpa kardus atau cawan atau sisik atau mungkin wujud. Kreasi dagu-dagu adiktif toga dan emblem aplaus di sekujur tubuhmu menggulung. Kemudian, kalian, kamu dan pria itu, lugu tergugu-gugu, terlumasi kutub pembela sua.

Sebagaimana "Ringkih" yang menjadi judul buku yang menenggaki tandas plester jiwamu—jiwa yang dulunya disayang ibu jari, tetapi sekarang nyaris hangus.

Pria itu erat, pekat, dan hangat menggenggamimu yang satu-dua terbatuk. Dalam-dalam dan tak merela malam-malam hitam di hidung jendela berkelontang. Senantiasa asa. Kamu fasih direngkuhnya seperti layar antah berantah dan garis belingsatan patah-patah yang rewel di pojok situ, tetapi kokoh dan riang meliuk-liuk. Megahlah harapan pria itu kepada sang kubus pembaca tengara: terus sajalah lasak begitu, dan janganlah malas gerak atau malu lalu hilang atau pulang atau pula merajuk.

Kedamaian bergumul di parasmu yang selayu awan menunggu aus. Pucat dan tak lagi selegit anggur. Lalu, oleh dekor, diam-diam, kamu pun diguyuri benang-benang kantuk. Terlindung dari nyamuk, yang adalah alasan kamu kini di sini membujur.

Bersama pria pendiam yang tiada jeda memelukmu itu. Bahkan, sudah kali yang kesekiannya pria bermata lazuardi itu membentengimu dan tulus meraup pahitmu.

Kendati, nanti, pria itu, berpengujung opsi yang sangat bertalian denganmu.

PuspawarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang