Gerhana Lazuardi (#3)

179 13 1
                                    

(3/3)

Dusta bercokol di kedua bilah bola matamu yang ditenggelamkan apersepsi.

Kamu bahagia, tak kamu mungkiri itu. Senyummu belumlah kadaluarsa, pun kamu tak menafikan itu. Muskil keruh polesan semringah yang bersenandung menyoraki bangsal keanggunan yang memang dari dulu mempersuntingmu selaku inangnya. Kamu yang malah mengombang-ambingkan altar pilihanmu sendiri. Pria pilihanmu itu ....

Kamu bingung. Kamu kosong. Kamu tiup dayung genderang kebahagiaan bulat itu, tetapi mengernyih dan buta ketika ditanya: apakah kamu benar-benar bahagia?

Bungkam ialah alternatif respons yang konstan kamu teguk lekat. Ya, selalu seperti itu. Dimulai lima tahun yang lalu sampai berpenghabisan momentum kali ini:

Simpai di jari manismu berkhianat seironis mantel meditasi yang nyeri ditelanjangi cakar badai. Cincinmu tergadai nota cerai, dan kamu kian menentengnya sepedih puisi melelangkan iblis berkaki kecewa dan berkuku cemooh ke pelosok imajimu.

Gemulai puntung rokok menyundut sampul sensitifmu, mesranya landasan setrika menjawil tengkukmu, tamparan yang mendamprat pipi delimamu, puluhan pukulan, tendangan, jambakan; semuanya itu, sekarang menjelma manuskrip gaduh yang meludahi tiap jengkal lumbung luhur di petilasan ragamu. Tersedu-sedu kamu oleh karenanya dan setelahnya dan seterusnya. Kelingking pilihan itu menjotosmu telak, tepat di koordinat hatimu lazimnya menguber angan. Rahimmu soak dan pria penjaja jawaban spektakuler yang kamu mau itu mencampakkanmu seperti menyetor feses pada kakus.

Hari-harimu keriput. Malam-malammu semaput. Peristiwa yang tiada kamu duga bakal terjadi sontak mempreteli kecemerlangan hayatmu. Mimpi-mimpi filmismu terkontaminasi pion pilu, entah sebab apa. Kamu hanya tahu bila kegelapan rasian menembakimu teror gigantis di ambang sana. Mengintaimu saksama, tanpa tanda koma.

Sepotong delusi terburukmu mengomandoimu mendaki samudra terjal dan menyelam perbukitan onak, demi apa yang kamu terlampau damba. Jawaban emas yang kamu sungguh-sungguh butuhkan selama ini ... siapa lagi kalau bukan pria pendiam itu!

Akan tetapi, asap telanjur ditumpahkan api. Kamu terjungkal di belantara komposit sesal dan sepi tiada tepi. Pria pendiam itu tewas beruraikan cairan pembasmi nyamuk yang diseduhnya dengan mengatasnamakan ketidaksanggupannya melepasmu!

Pria pendiam itu bakal lanjut menghantui kiprah dan motor kalbumu hingga tak seorang pria lagi yang ikhlas menadahi cintamu. Dan, sesuatu yang perlu kamu tahu: pria pendiam pemilik tatapan sebiru deru langit itu adalah orang yang sama denganku.

[]

PuspawarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang